Oleh : Akaha Taufan Aminudin
Dalam hiruk pikuk kehidupan, kita sering lupa betapa kuatnya sebuah kisah—sebuah puisi atau cerita—dapat menggugah jiwa dan memberikan harapan. “Si Rejeki,” karya Martinus Dwianto Setyawan, bukan sekadar cerita tentang seekor kuda pekerja, melainkan metafora luhur tentang kebebasan, ketabahan, dan keberanian menuntun hidup.
Melalui puisi dari Asti Musman yang merefleksikan kisah itu, bersama ucapan terima kasih Romo Sindhunata untuk semua penulis yang mengenang Mas Dwi, kita diajak untuk sejenak merenung, menghargai, dan meneruskan semangat menulis sebagai warisan budaya dan motivasi.
Dalam dunia yang serba cepat ini, jarang kita berkesempatan untuk menyelami karya-karya sastra yang membawa kita jauh dari hiruk pikuk, ke dalam renungan yang mendalam tentang makna kebebasan dan keberanian.
Puisi “Jalan Tabah Si Rejeki” karya Asti Musman menghidupkan kembali cerita dari buku legendaris “Si Rejeki” karya Martinus Dwianto Setyawan, mengingatkan kita tentang perjalanan hidup yang tidak selalu mulus, namun selalu penuh harapan.
Bayangkan seekor kuda bernama Rejeki — yang dulunya gagah dan kuat, kini hanya tinggal tulang dan air mata. Rejeki mewakili raga yang terkekang oleh nasib, tapi jiwanya tetap berontak mencari kebebasan. Sang penulis membawa kita menyusuri setiap langkah yang berat, jerit tanpa suara, dan tanya tanpa jawaban.
Namun, harapan hadir dalam bentuk seekor burung kecil bernama Lurik. Dalam sunyi, hal-hal kecil itu sering kali membawa perubahan besar. Seperti dalam kehidupan kita, kadang perubahan besar datang dari simpul-simpul empati sederhana yang digenggam oleh sebuah hati tulus—seperti Dinar dalam puisi itu.
Dalam percakapan yang hangat dan penuh rasa syukur, Romo Sindhunata mengungkapkan betapa pentingnya mengenang dan menghargai karya Mas Dwi atau Martinus Dwianto Setyawan, yang telah memberikan kontribusi besar bagi sastra anak dan remaja Indonesia.
Bahwa sejak kepergiannya, banyak sastrawan dan penulis mengabadikan jasa dan karya beliau dengan tulisan-tulisan penuh penghayatan yang mengharukan. Ini membuktikan, karya yang lahir dari ketulusan hati dan kepedulian sosial akan terus hidup, yang bahkan bisa menjadi motivasi bagi generasi baru untuk terus menulis dan berkarya.
Mengapa kisah Si Rejeki dan puisi Asti Musman ini begitu menyentuh? Karena di dalamnya tersimpan refleksi tentang hidup yang tidak sempurna—yang kita semua rasakan. Roda kehidupan kadang memaksa kita untuk menempuh jalan penuh tantangan.
Ketabahan bukan hanya soal menahan, melainkan juga soal keberanian melangkah meski perih, melampaui ketakutan untuk mengejar arti mimpi dan kebebasan. Ini adalah pelajaran universal, yang tidak mengenal batas usia, latar belakang, atau kondisi.
Lebih jauh, kisah ini mengajak kita untuk memahami bahwa nilai sejati sebuah perjuangan tidak diukur dari gelar atau pengakuan duniawi, melainkan dari nyala api yang terus menyala dalam hati.
Rejeki menang bukan karena dirinya sempurna, tapi karena ia tidak pernah berhenti berlari—metafora indah untuk jiwa yang terus berharap walau dunia berusaha mengekangnya. Sebuah pengingat lembut bahwa kesempurnaan hanyalah angan, tetapi usaha dan keteguhan adalah hal yang nyata dan berharga.
Kota Batu, dengan kebanggaannya terhadap Mas Dwi, kini memiliki tonggak penerang dan inspirasi. Bagi para penulis muda yang tengah menapaki jalur sastra, kisah ini adalah semacam kompas yang mengingatkan: menulis bukan sekadar mencatat kata, tapi merupakan suara hati yang menyuarakan cita-cita dan perubahan. Dalam era digital yang penuh distraksi, warisan seperti ini menjadi mutiara untuk disimpan dan dibagikan.
Asti Musman, dengan gaya menulisnya yang sederhana tapi penuh makna, berhasil membawa pembaca masuk jauh ke dalam dunia “Si Rejeki.”
Dengan latar belakangnya yang tidak hanya sebagai penulis, tapi juga sebagai pecinta kopi, ibu dari dua anak, dan figur sosial di Madiun, ia menyebarkan pesan bahwa menulis adalah bagian dari kehidupan sehari-hari dan dapat menjadi alat powerful untuk menyuarakan nilai kemanusiaan.
Refleksi Akhir:
Mengenang seorang maestro sastra seperti Martinus Dwianto Setyawan bukan hanya soal mengenang masa lalu, tetapi merayakan bahasa dan kisah yang memerdekakan jiwa.
Karya-karya yang menyuarakan ketabahan dan kebebasan akan terus hidup jika kita membuka hati untuk mendengarkan, menulis, dan berbagi. Sebab pada akhirnya, sastra adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan, dan manusia dengan manusia.
Jadi, mari kita lanjutkan warisan itu: menulis bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk terus mengalirkan semangat, melahirkan empati, dan menyalakan harapan.
Apakah Anda pun pernah tergerak oleh sebuah cerita atau puisi yang mengubah cara pandang Anda? Yuk, bagikan di kolom komentar dan mulai diskusi untuk menghidupkan jiwa sastra Indonesia bersama!
Senin Pon 8 September 2025
Akaha Taufan Aminudin
Sisir Gemilang Kampung Baru Literasi SIKAB Himpunan Penulis Pengarang Penyair Nusantara HP3N Kota Batu Wisata Sastra Budaya SATUPENA JAWA TIMUR
#SatuPenaJawaTimur
#MengenangPenulisSastraAnakdanRemajaIndonesiMartinusDwiantoSetyawan
#Literasi
#SastraIndonesia
#Fyp