Oleh: Dr. Slamet Hendro Kusumo SH.MM.
(Ketua Dewan Penasehat SATUPENA JAWA TIMUR)
*SATUPENA JAWA TIMUR, Pendidikan bukan hanya mendapatkan informasi, tetapi tentang belajar berfikir kritis (Tom Nichols)*
Tom Nichols, penulis buku yang menghebohkan dengan tajuk The Death of Expertise
(matinya kepakaran). Dalam salah satu testimoninya bahwa pendidikan bukan saja menyodorkan, memproteksi, informasi, akan tetapi daya kritis, justru menjadi tujuannya. Pentingnya bahwa otak (pikiran), perlu diuji, dipertentangkan agar tumbuh kembang, dan dapat melakukan perlawanan terhadap pengetahuan yang mapan (ekstabilisme). Sehingga manfaat pengetahuan menjadi berkembang lebih baik, serta mampu menjawab perubahan-perubahan yang akan terjadi.
Tulisan ini sengaja tidak mengupas buku Nichols, tetap dapat dipakai untuk membuka, sebuah “sosok Istimewa” yang bernama Martinus Dwianto Setyawan.
Kala itu, kisaran tahun 1975 hingga 2024 Dwianto sedang gencar-gencarnya banyak melakukan kegiatan menulis, membuat sanggar dan melakukan industri kreatif (manajemen seni), adalah sosok pekerja keras, akomodatif, disiplin, cerdas atau (kritis) dan profesional. Apa yang sebenarnya pernyataan Nichols ada dalam diri yang bersangkutan. Entah berapa orang secara langsung, tentunya dalam sanggar DS/Dwiyanto Setyawan, atau sekadar konsultasi tentang penulisan, telah memperoleh manfaat dan metode-metode penting untuk mengatasi kemacetan berpikir.
Sebab kedisiplinan adalah metode penting, untuk menjadi pekerja keras dan cerdas, bagaimana bisa mewujudkan karya-karya yang berkualitas.
Keseriusan yang membuahkan berbagai pengalaman, dalam kerja tulis, didiskusikan dengan baik, serta tidak memaksakan doktrin-doktrin yang berlebihan. Sehingga suasana dialog itu memompa calon penulis menjadi termotivasi dengan baik.
Hal yang paling menarik dan selalu diulang-ulang adalah “kerja keras, cerdas dan disiplin.” Karena bakat bukan hal utama, tetapi manajemen otak untuk berpikir kritis, justru lebih utama.
Tentu saja terkait dengan kesediaan data, bahasa/narasi juga strategi untuk bisa masuk dan dimuat dalam majalah, tabloid, koran papan atas atau koran mainstream. Kala itu, koran mainstream masih menjadi medan seni tulis profesional, setiap masyarakat elit untuk mendapatkan informasi, berita dan tulisan-tulisan, komik, ilustrasi yang berbobot, menjadi tolok ukur seseorang yang disebut sebagai pekerja seni nasional, sebelum era digital menghancurkannya.
Batu, tepatnya Kecamatan Batu, sebelum jadi Kota Batu yang diinisiatori oleh para pejuang, Kelompok Kerja peningkatan status Kota Batu (POKJA Kota Batu) adalah daerah dingin yang sepi, di mana penduduknya mayoritas adalah masyarakat agraris.
Maka pilihan Dwianto sebagai penulis adalah pilihan yang aneh serta dianggap tidak “jadi orang”, bahkan masyarakat juga sering menganggap bahwa jadi penulis, seniman Lukis adalah pilihan yang tidak menjamin kehidupan di masa mendatang, apalagi kaya.
Tapi keluarga Dwianto, adik, kakak, hampir rata-rata kerja di media cetak, terutama di Gramedia grup.
Maka hasil dari kerja keras tersebut, telah membuahkan dua rumah besar, saling berhadapan, di Jl. Samadi gang 2. Kota Batu, berdiri megah untuk ukuran rumah desa, serta salah satu rumahnya dijadikan sanggar untuk mengelola industri kreatif DS grup DS, memproduksi komik, cerpen, dan jenis tulisan lainnya.
Selanjutnya, karya-karya DS grup menghiasi berbagai media nasional. Hal ini tentu saja hasil dari buah tangan dingin Dwianto, membawa efek ekonomi bagi kreator-kreator muda.
Tentu saja, dalam catatan perjalanannya tidak bisa hadir begitu saja. Seiring kemunculan digitalisasi, dalam media analog menjadi media digital, yang telah mengubah gaya hidup, selera dengan berbagai kebutuhan hidup masyarakat.
Sehingga bentuk-bentuk tulisan yang bersifat analog cetak, mendapat hambatan-hambatan serius bagi perkembangan tulis menulis, termasuk pembuatan komik.
Di sisi yang lain, Dwianto sudah berumur, namun telah menancapkan kerja kreasinya sehingga, meninggal dengan jejak kebesarannya di Kota Batu, khususnya dan Indonesia pada umumnya.
*Cerdas, Akomodatif, dan Profesional*
Dwianto beristrikan Irawati dengan satu buah hatinya Aris, sudah almarhum, adalah sosok pekerja keras dan fokus hingga akhir hayatnya, tetap konsentrasi di dunia media.
Perjalanan hidupnya terakhir menjadi direktur pemasaran Koran Harian Surya. Kakak dari Dr. Sindhunata, atau dikenal sebagai Romo Sindhu, Dr. Filsafat dari Jerman, sebagai penulis buku legendaris Anak Bajang Penggiring Angin, tulisan berbau filsafat, serta penanggung jawab “Majalah Basis.”
Dwianto memiliki sikap akomodatif namun tegas, bisa dibayangkan para rekanan kerja kreatif yang rata-rata tidak beruntung dibidang ekonomi, pendidikan, serta miskin relasi media.
Dengan kesabaran dan kecerdasannya, mampu memoles,memanajemen dan membuahkan ratusan karya meliputi, tulisan-tulisan, komik dan ilustrasi.
Hanya dengan didikan yang sungguh-sungguh serta kerja keras, mampu mewujudkan impian-impian yang luar biasa.
Hal tersebut mengingatkan, apa yang dikatakan oleh Elon Musk, mimpi besar itu gratis, tetapi kerja keras yang membayarnya.
Memang ketekunan dan kerja keras adalah “komposisi yang balance,” Dwianto mampu menyulap kekurangan-kekurangan itu, menjadi tujuan masa depan yang terukur.
Tentu saja tidak semua pengarang, atau penulis mau memotivasi, mendidik dan juga punya sisi-sisi kemanusiaan, kecuali memang sudah kelas dewa.
Maka pendapat Voltaire, amat menarik untuk direnungkan yaitu, tidak ada orang kecuali mereka yang memiliki pengabdian, besar kepada kemanusiaan.
Di sudut yang lain, Dwianto selalu alergi jika ada rekanan kerjanya “mengatakan tidak bisa, tidak ada mood” dan lain-lain, sebagai alasan untuk tidak berkarya.
Hanya metode, dan manajemen yang dapat menguraikan kesulitan-kesulitan itu.
Hal ini telah dibuktikkan, ketika terjadi deadline media, maka tanggung jawab dalam menyelesaikan karya, dipaksa harus selesai. Tidak sedikit rekanan kerja kreatif pusing tujuh keliling.
Bisa dibayangkan jika, dalam satu hari, dikontrol, pagi, siang, dan sore, karena ditunggu redaksi. Ini memang benar adanya, sebab, hampir rata-rata prolog atau cerita ringkas dikirim lebih dulu ke redaksi, ketika redaksi menyetujui dan diberi jadwal tersebut, maka konsekuensinya adalah “ngebut”.
Menariknya, hubungan tersebut menjadi sangat akrab, tidak ada bedanya bos dan bawahan. Termasuk hasil atau honor dibagi rata, 50%, 50% rekanan kreatif.
Yang menarik, sering terjadi rekanan Dwianto, kas bon atau hutang duluan sebelum karya diterbitkan, tidak jarang, berujung tidak bisa mengembalikan hutang tersebut.
Singkat kata, Dwianto membebaskan hutang tersebut, karena kasihan. Jadi kesimpulannya adalah bahwa Dwianto yang punya jaringan, menjadi orang utama dalam strategi kreatif, justru mendapat bagian lebih kecil, jika dihitung untung rugi.
Poinnya, Dwianto adalah bapak ideologis. Sering rugi dan melanggar janjinya untuk tertib dalam keuangan.
Catatan penting berikutnya, ada yang tidak bisa ditawar-tawar, yaitu profesionalisme. Intinya akomodatif tapi profesionalisme, ini sikap yang Istimewa, teladan dan sulit dicari duanya, jika dibandingkan dengan penulis yang bekerja untuk dirinya sendiri.
Sosok pendiam ini, sedikit bicara, tapi demokratis, selalu terbuka terhadap pemikiran kritis, tentunya untuk perbaikan-perbaikan kualitas karya.
Dia juga sering mengatakan, bahwa berkarya itu harus terukur, data yang valid, serta ketepatan waktu, dan dapat dipastikan oleh penerbit.
Dengan sikap yang dipilihnya, maka hampir semua majalah dan koran papan atas, menanti produk-produknya, baik yang dikerjakan secara pribadi maupun yang secara berkolaborasi.
Bahkan tak jarang, beberapa karya tersebut (DS Grup) sering bebarengan dimuat dan tidak mengecewakan redaktur, sehingga tulisan pesanan berupa artikel, cerpen anak-anak, buku anak-anak, komik kolaborasi, selalu dinantikan oleh para redaktur. Hal ini rasanya jarang terjadi pada penulis kebanyakan pada saat itu.
Kiprah dan kegiatan industri kreatif itu, secara tak langsung berdampak pada “branding” Batu, bagaimana tidak, media cetak analog, masih menjadi kebutuhan pokok, serta beberapa kios majalah dan koran menyediakan satu koran atau majalah untuk dapat dibaca oleh masyarakat umum setempat.
Dipastikan pada pagi hari, Pak Paiman koran, pemilik kios kebanjiran pembaca tetap, yang pelit beli, berjajar sambil berjemur di pagi hari, itu terjadi setiap hari. Efek dari kebaikan Pak Paiman, tentu saja secara cepat diketahui oleh publik sekitar, dengan demikian, nama-nama baru dari DS Grup menjadi pembicaraan. Hal ini tentu saja menyenangkan, walaupun ada diseputaran lokasi kios koran. Sebab saat itu, orang yang suka membaca masih tergolong langka.
*Maestro Penulis Anak*
Dwianto adalah aktivis gereja yang taat, juga penggiat olahraga karate Dojo Kyukushinkai di kecamatan Batu (sekarang kota Batu, pimpinan master karate Dojo Nardi T Nirwanto). Almarhum .
Tipikal Dwianto yang pekerja cerdas dan disiplin atau lebih tepat yang disebut “pemikir industri sastra”, tidak suka mengomentari orang lain.
Karakter ini mengingatkan tentang testimoni Carl Gustav Jung, berfikir itu sulit, itulah mengapa banyak orang suka menilai. Intinya daya dobrak pikiran Dwianto terus melakukan inovasi-inovasi untuk bagaimana caranya mempercepat produksi secara profesional dan berkualitas.
Sehingga karena kehebatan kreatifnya, Dwianto berani melakukan sesuatu yang berbeda dari penulis lain.
Maka teringat apa yang dikatakan Georg Cantor, inovasi yang hebat hanya terjadi ketika orang tidak takut melakukan yang berbeda. Frans Kafka, juga berujar, tugas kita tidak untuk berhasil, tugas kita adalah untuk mencoba. Oleh sebab itu, Dwianto selalu melakukan kepada rekan kreatifnya agar memiliki metode kerja, terukur, berbasis data valid.
Keunggulan Dwianto tidak saja memiliki nama besar, tapi mampu membangun sistem kerja yang baik dan solid, bagi banyak orang.
Jenis tulisan yang dibuat oleh sosok penggemar makanan “tahu lontong” tersebut, meliputi pariwisata, sosial, gaya hidup, cerpen, cerbung dewasa, juga cerbung anak-anak, walaupun akhirnya lebih fokus pada tulisan anak-anak yang terbit di media cetak analog, tak lupa kolaborasi cergam atau cerita bergambar/komik. Yang menjadi langganan tulisan Dwianto, seperti Kompas, Hai, Intisari, Mutiara, Kartini, Femina serta majalah anak-anak Bobo, Hallo, Ananda, Kuncung dan lain-lain.
Dengan demikian, untuk memenuhi banyak pesanan, maka muncul gagasan cerdas industri kreatif yang diberi nama DS Grup, dengan kerja sangat ketat. Ada nama yang menjadi rekanan kerja, antara lain, dibidang komik, Slamet Hendro Kusumo, Keo Budi Santoso, Rudianto, Kambali, Antok, serta Yani Andoko (penulis), itu yang permanen, sedangkan masih banyak penulis lain yang temporeris.
Dengan tingkat produksi yang tinggi itu, tidak berlebihan Dwianto telah menghasilkan ratusan karya dan puluhan buku hampir disetiap hari, mendominasi media papan atas di Indonesia.
Sungguh sangat layak, pada akhir-akhir ini, sejumlah media dan Yayasan Sastra memberikanpenghormatan dan penghargaan atas ketokohannya.
Mengingat dan menimbang kiprah dan dampak pemikiran moderen sangat tepat, jika kata Maestro, disematkan, kepada dua orang, yaitu Dwianto Setyawan dan Satmowi Atmowiloto (kakak kandung Arswendo Atmowiloto), penulis remaja, pimpinan redaksi di sejumlah media cetak Gramedia Grup, memperoleh penghargaan tinggi tersebut.
Dua raksasa penulis cerita petualangan anak-anak, berbau misteri itu telah membuktikan dan memberikan warna indah pada penulisan anak-anak. Satmowi menjadi penulis estafet di majalah Kuncung dan Dwianto menjadi penulis anak-anak di majalah Bobo dengan cerita lengendarisnya Sersan Grung-grung, dimuat secara berkala, dan akhirnya dicetak menjadi buku berseri, laris manis di pasaran dan tersedia, khususnya di toko buku Gramedia, yang memiliki sistem publikasi profesional, serta moderen, toko bukunya bertebaran di seluruh Indonesia.
Ketenaran Dwianto, memang tak terbendung, sehingga tulisan Sersan Grung-gung ditawar untuk difilmkan, namun Dwianto tidak berkenan, karena memiliki prediksi, jika buku difilmkan, maka akan menghambat penjualan bukunya. Oleh karenanya, bentuk kerjasama itu dibatalkan.
Sebab ada beberapa buku yang difilmkan, terbukti gagal dipasaran. Dwi dan grupnya akhirnya menyerah saat digilas oleh era digitalisasi (teknologi) dan gaya hidup masyarakat lebih “malas berpikir” dan enggan membaca.
Tapi nama Dwianto tetaplah maestro sebagai penulis anak-anak yang pernah hidup dengan sisi kemanusiaannya.
Sulit dibandingkan, apalagi dengan penulis yang tradisional, yang berkutat pada dirinya sendiri. Semoga damai di Surga.
Tancep Kayon, Bumiaji Rabu Kliwon 6 Agustus 2025 Omah Budaya Slamet (OBS) Kota Batu Wisata Sastra Budaya.
Kenangan Slamet Hendro Kusumo, mantan komikus, dan sekarang menjadi perupa, dan konsentrasi di bidang kebudayaan. Bersyukur karena pernah bekerja sama dengan Sang Maestro Dwianto Setyawan.