Oleh: Yani Andoko
Terasa ada rindu yang pekat menyelimuti generasi 80-an dan 90-an. Rindu pada seorang lelaki yang membangun tenda-tenda petualangan di halaman paling sunyi masa kecil kita.
Kepergian Dwianto Setiawan (1953-2024) pada 1 Juni 2024 bukan sekadar duka personal. Ia adalah kehilangan besar bagi khazanah sastra anak Indonesia.
Gelar Tokoh Sastra Anak yang dianugerahkan padanya pada 20 April 2024 hanya sepekan sebelum wafatnya bukan sekadar penghormatan simbolis yang terasa seperti tetes hujan di padang gersang kepergian. Ia adalah pengakuan akhir atas kontribusi revolusioner Dwianto yang secara fundamental membentuk wajah sastra anak modern Indonesia, menjadikannya sosok yang tak terbantahkan dalam peta sastra anak negeri ini.
Dwianto bukan sekadar penulis; ia adalah pionir yang membebaskan sastra anak dari belenggu didaktisme kaku Pada era 80-an, ketika banyak karya anak masih terjebak dalam ceramah moral atau terjemahan dongeng asing yang jauh dari konteks lokal,
Dwianto melompati tembok itu dengan gagah berani. Melalui magnum opus-nya, serial Sersan Grung Grung (1979) dan Kelompok 2&1 (1981), ia menciptakan formula baru: petualangan genuin Indonesia dengan bahasa percakapan anak yang autentik, segar, dan bebas dari kesan menggurui.
Karakter seperti Grung Grung si bocah pemberani, ceplas-ceplos, tapi penuh rasa keadilan bukanlah “guru mini”. Ia adalah sahabat yang mewakili jiwa petualang dan keingintahuan setiap anak Indonesia.
Begitu pula Kelompok 2&1 yang merekam dinamika persahabatan urban dengan keluguan dan kecerdikan khas anak pinggiran kota.
Dwianto menguasai “bahasa rahasia anak-anak” ia tak bercerita untuk mereka, ia bermain bersama mereka di halaman kata-katanya. Gaya berceritanya yang cair, penuh humor, dan menghargai kecerdasan pembaca cilik ini kelak menjadi DNA yang menginspirasi penulis generasi 90-an seperti Hilman Hariwijaya (serial yang terkenal di Majalah HAI “Lupus”) atau bahkan gaya bercerita Raditya Dika di masa kini.
Kontribusi terbesarnya terletak pada peletakan fondasi sastra anak yang kontekstual dan membumi Pada dekade 70-80an, sastra anak Indonesia masih didominasi adaptasi cerita rakyat atau terjemahan dongeng Eropa yang sering kali asing di lingkungan keseharian pembaca cilik.
Dwianto hadir dengan dunia asli: halaman rumah yang luas, gang-gang permukiman, pasar tradisional, dan persahabatan yang tumbuh di antara dentang sepeda ontel dan teriakan main kelereng.
Karyanya melakukan dekolonisasi imajinasi menjadikan pengalaman keseharian, lingkungan sosial, dan nilai-nilai lokal anak Indonesia sebagai subjek utama, bukan sekadar latar belakang.
Serial Kelompok 2&1 misalnya, bukan hanya kisah lucu tentang anak-anak nakal. Ia adalah potret cerdas tentang solidaritas, kecerdikan mengatasi masalah, dan semangat kemandirian dalam setting sosial-ekonomi Indonesia yang sedang berkembang.
Dwianto membuktikan bahwa petualangan heroik tak perlu terjadi di hutan Eropa; ia bisa ditemukan di sudut kompleks rumah atau dalam upaya mengembalikan dompet yang hilang di pasar. Inilah yang membuat karyanya bukan sekadar hiburan, melainkan cermin yang memvalidasi dunia dan identitas pembacanya.
Dampak Dwianto melampaui nostalgia generasi 80-an; ia menancapkan pengaruh jangka panjang yang diakui secara kritis dan institusional. Data Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI, 2020) mencatat karyanya masih menjadi bacaan wajib di ratusan SD karena relevansinya dengan psikologi perkembangan anak.
Tokoh Sersan Grung Grung bahkan dikaji dalam tesis Universitas Pendidikan Indonesia (2017) sebagai archetype pahlawan anak Indonesia figur yang memadukan keberanian fisik, kerentanan emosional, dan semangat gotong royong yang khas budaya lokal.
Gelar “Tokoh Sastra Anak” 2024 dari Kemendikbudristek hanyalah puncak gunung es dari serangkaian pengakuan. Sebelumnya, Dwianto telah menerima Penghargaan Buku Anak Terbaik IKAPI (1983) dan dinobatkan majalah Horison (1991) sebagai salah satu “Penulis yang Mengubah Cara Anak Indonesia Bermimpi”.
Pengaruh estetikanya merasuk ke generasi berikut: semangat kemandirian Grung Grung dan kecerdikan Kelompok 2&1 terasa dalam semangat serial Kecil-Kecil Punya Karya (Dar! Mizan) atau keberanian tokoh-tokoh cerita anak kontemporer.
Bahkan Gerdi WK, ilustrator senior, dalam diskusi mengenang Dwianto di Bandung (Juni 2024), menyatakan dengan gemuruh bangga: “Jadi saya begitu diorderin untuk dibikinkan ilustrasi cerita Dwianto Setyawan, senang banget.” Begitu juga Slamet Hendro Kusumo ketika diajak untuk menjadi tim Dwianto untuk mengilustrasikan karya karya beliau di majalah majalah nasional terkenal seperti HAI ada Planet Dao Solax dan Rumah Misteri dan masih banyak lagi,
“Saya bangga dapat mengilustrator karya karya Mas Dwi,’ katanya. Kalimat sederhana itu mencerminkan kehormatan profesi bagi sesama creator mewakili keyakinan bahwa menggambar untuk Dwianto adalah mewujudkan dunia imajinasi yang telah hidup setengah jalan di benak suatu generasi.
Kini, ketika Sersan Grung Grung telah kehilangan komandannya, kita bukan hanya kehilangan penjaga gawang imajinasi masa kecil. Kita kehilangan seorang arsitek yang membangun ruang tumbuh bagi jiwa-jiwa kecil.
Penghargaan untuk Dwianto Setiawan adalah pengakuan bahwa ia telah menciptakan lebih dari sekadar cerita ia membangun dunia alternatif tempat anak-anak Indonesia belajar berani menghadapi ketakutan, menemukan kekuatan dalam persahabatan, dan mencintai lokalitas dengan bangga.
Benih imajinasi, keberanian, dan kecerian murni yang ia tanam melalui tokoh-tokohnya telah tumbuh menjadi pohon rindang dalam jiwa suatu generasi.
Dunia yang ia ciptakan dengan pena dan cinta itu tidak akan padam. Ia akan terus menyala setiap kali seorang anak membuka halaman bukunya, atau setiap kali kita, yang telah dewasa, menutup mata dan kembali menjadi bocah penuh heran.
Selamat jalan, Dwianto. Selamat jalan, Sersan dari negeri dongeng kami. Gelar “Tokoh Sastra Anak” itu meski terasa seperti pelukan terakhir yang nyaris terlambat adalah saksi abadi: kau adalah pilar yang mengukir peta imajinasi sastra anak Indonesia.
Di suatu tempat di antara bintang-bintang, kita bisa membayangkan Sersan Grung Grung memberi hormat terakhir, atau Kelompok 2&1 menyiapkan petualangan baru untukmu. Karyamu adalah keabadian.
Batu, 6 Agustus, 2025
Yani Andoko
BIODATA PENULIS
Nama Pena : Yako
Nama Asli: Yani Andoko
No, Keanggotaan Satu Pena Jawa Timur : 16 -024
Sekretaris Umum SATUPENA JAWA TIMUR
Pernah Jadi DPRD Kota Batu 2 Periode
Alamat
: Jl. Melati No. 9, RT/RW :001/003 Gunungsari-
Bumiaji – Kota Batu- Jawa Timur
Hobbi
: Menulis, Membaca, Fotografi, Travelling
Karya – Karya
:
1. Majalah Remaja tahun 1984 – 2000
a. Anita Cemerlang (Cerpen : Surprais, Ketika Pagi, Ada Kamu, Fatamorgana, Bimbi )
b. Aneka (Cerpen : Bangku Terakhir, Putri, Kepang Dua, TandaTandanya dll)
c. Nona (Cerpen : Susah Kukatakan, Bisik Bisik, Cerbung :Senja Diujung Bulan dll)
d. Gadis (Cermin/cerita mini : Sepatu, Pagi Pagi, Cerpen : Namaku Bejo, Bella, Tetangga
Sebelah)
e. Mode (Cerbung : Warna Pelangi, Cerpen : Salah Kirim, Es Krim)
2. Koran Kedaulaan Rakyat (Cerpen : Surti, Surat Kaleng, Orang Orang Pinggir, Dukun
Sunat dll)
3. Koran Surya/ Suplemen Hopla (Cerpen anak-anak : Vas Bunga dll)
4. Birawa (Cerpen : Panen, Mak Ipah, RT Gimbul)