Oleh Denny JA
Pada suatu pagi yang lengang di bulan September 1960, lima pria berjalan memasuki ruang pertemuan sederhana di distrik Al-Rashid, Baghdad.
Tak ada kemegahan diplomatik, tak ada sambutan karpet merah. Mereka adalah para menteri minyak dari Iran, Irak, Kuwait, Arab Saudi, dan Venezuela.
Ini negara-negara yang kala itu masih dianggap periferal dalam panggung dunia.
Namun di ruang sunyi itu, mereka menandatangani sebuah perjanjian pendek. Sebuah piagam tanpa kilau, namun menyimpan bara. Dari kesepakatan sederhana itu, lahirlah OPEC—Organisasi Negara Pengekspor Minyak.
Mereka bukan negarawan besar. Bukan pula jenderal bersenjata. Namun kelak, dari tangan mereka, dunia akan gemetar hanya karena satu keputusan: menaikkan atau menurunkan kuota produksi minyak.
Apa yang bisa Indonesia pelajari dari babak ini?
Bisakah sekumpulan negara berkembang, yang dahulu hanya menjadi ladang eksploitasi kolonial, kini menjadi pusat gravitasi ekonomi global?
–000–
Sejarah OPEC adalah sejarah perlawanan tanpa senjata. Sebelum 1960, dunia minyak dikendalikan oleh tujuh perusahaan raksasa Barat.
Mereka dijuluki “The Seven Sisters”: Exxon, Shell, BP, Mobil, Chevron, Gulf, dan Texaco. Mereka menentukan harga, volume produksi, dan keuntungan. Negara-negara penghasil minyak hanya menerima sisa.
OPEC muncul sebagai bentuk nasionalisme energi. Ketika krisis Yom Kippur pecah pada 1973, OPEC menghentikan ekspor ke negara-negara pendukung Israel.
Harga minyak melonjak 400% dalam setahun. Dunia panik. Antrian mobil di SPBU Amerika melingkar seperti ular lapar. Industri Eropa lumpuh.
Untuk pertama kalinya, negara-negara “Global South” memegang kendali atas denyut ekonomi global. Itu dilakukan bukan dengan tank, tapi dengan barel minyak.
OPEC bukan perusahaan. Bukan negara. Bukan agama. Tapi ia bisa membuat dunia resesi dalam semalam.
Strukturnya pun unik. Ia bekerja lewat konsensus, menetapkan kuota produksi untuk anggotanya. Jika pasokan terlalu banyak, harga turun. Maka kuota dipotong. Jika pasokan ketat, harga naik. Maka produksi dibuka.
Namun di balik mekanisme itu, tersembunyi dilema moral: semua ingin harga tinggi, tapi banyak anggota melanggar kuota secara diam-diam. Ini tragedi klasik yang oleh ekonom disebut moral hazard.
Dalam sistem ekonomi liberal global, OPEC adalah paradoks: ia melawan pasar bebas dengan cara tertutup—namun hasil keputusannya diterima oleh Wall Street dan Beijing, oleh Paris dan Jakarta.
–000–
Jika OPEC adalah kerajaan, maka Arab Saudi adalah rajanya—meski tanpa mahkota resmi.
Dengan cadangan minyak terbesar dan kapasitas produksi paling fleksibel, Riyadh bisa mengubah arah pasar dunia dalam hitungan jam.
Ketika Rusia dan Saudi bertikai pada 2020, harga minyak jatuh bebas. OPEC berperan penting dalam guncangan itu.
Malam itu, dunia menyadari satu hal: kekuasaan tidak selalu ada di Gedung Putih atau Kremlin. Kadang, ia bersemayam di sumur gurun dan spreadsheet kuota.
Tahun 2010-an, muncul tantangan baru: teknologi fracking membuat Amerika Serikat mandiri energi. Produksi shale oil melonjak, menggoyang dominasi OPEC.
Sebagai respons, Saudi dan sekutunya menurunkan harga drastis untuk menggulung industri fracking yang berbiaya tinggi.
Namun senjata itu berbalik arah: bukan hanya industri shale yang terguncang, tapi juga Angola, Nigeria, bahkan anggota OPEC sendiri.
Dalam dunia global yang saling terhubung, kemenangan bisa menjadi kekalahan. Dan harga murah bisa menjelma kutukan.
–000–
Kini OPEC berada di simpang jalan. Dunia mendorong transisi ke energi bersih. COP dan IPCC mendesak pengurangan emisi. Namun OPEC bersikukuh: minyak masih vital bagi pembangunan negara-negara berkembang.
Beberapa anggotanya mulai berinvestasi dalam energi hijau—namun lebih sebagai simbol, bukan niat sejati.
Pertanyaannya: bisakah lembaga yang dibangun untuk mempertahankan harga minyak menjadi mitra dalam masa depan tanpa minyak?
Banyak yang meragukan kekuatan OPEC. Di beberapa momen, kartel ini gagal mengontrol harga, seperti pada tahun 1986 dan 2020.
Spekulan, perang, dan teknologi sering kali lebih berpengaruh ketimbang keputusan kuota.
Namun dalam banyak kasus, hanya dengan mengedipkan mata, OPEC mampu menggetarkan pasar dunia.
Maka OPEC bukanlah dewa. Tapi ia juga bukan boneka. Ia adalah tuan harga—tokoh yang tak bisa diabaikan dalam drama energi global.
–000–
Indonesia: Dari Pemain Menjadi Penonton
Indonesia pernah menjadi anggota aktif OPEC (1962), sebagai simbol kedaulatan energi.
Namun ketika kita menjadi net importer, kita mundur (2008), lalu kembali sebentar (2016), dan akhirnya kembali nonaktif.
Kita seperti penonton yang pernah di panggung utama. Kini, kita harus memilih: ikut permainan besar, atau membangun permainan sendiri—dengan energi terbarukan, efisiensi, dan kemandirian.
Di tengah dunia yang sedang menulis ulang peta energi, Indonesia belum menentukan: apakah ia ingin menjadi penulis, pembaca, atau hanya pembisik tak terdengar.
Di tahun 2025, Indonesia masih bergantung pada impor sekitar 40-50 persen dari kebutuhan minyak. Tahap paling strategis, Indonesia perlu roadmap untuk semakin mandiri, mengurangi prosentase impor.
Di samping selalu mencari lahan minyak baru, Indonesia perlu roadmap semakin dalam pula masuk ke energi terbarukan.
Indonesia perlu strategi empat poros: Pertama, cari ladang minyak baru yang kaya. Kedua, investasi masif pada energi terbarukan (geothermal, hidrogen hijau).
Ketiga, membangun industri baterai litium berbasis nikel. Dan keempat, menjadi “geothermal superhub” Asia Tenggara.
Dengan demikian, kita tak sekadar bereaksi pada harga minyak, tapi juga membuat negara lebih mandiri untuk energi, dan menciptakan pasar energi baru yang independen.
–000–
OPEC bukan partai, bukan negara, bukan institusi demokratis. Tapi ia bisa menentukan apakah rumah tangga di Guatemala bisa membeli gas esok hari.
Ia bisa membuat rupiah menguat atau melemah. Ia bisa memutuskan apakah anak-anak di Lagos, Nigeria, bisa naik bus ke sekolah.
Dalam dunia yang katanya bebas dan terbuka, satu rapat tertutup di Wina bisa membuat dunia gemetar.
Lalu siapa yang mengawasi para tuan harga?
Dan jika mereka digantikan oleh tuan-tuan baru dari litium, nikel, dan panel surya, apakah kita benar-benar bebas—atau hanya mengganti pemain dengan pemain lain?
Dari Baghdad ke Riyadh, dari Washington ke Jakarta, satu pelajaran penting mengalir: harga bukan hanya angka. Ia adalah alat tawar, senjata, bahkan ideologi.
Indonesia, dengan posisinya yang strategis, punya pilihan:
Tunduk pada harga yang ditetapkan orang lain?
Atau merancang jalan mandiri dengan energi bersih, efisiensi, dan inovasi?
Dalam dunia baru, mungkin OPEC tak lagi menjadi satu-satunya pemain utama.
Tapi selama dunia masih mengandalkan minyak, mereka tetaplah tuan harga.
“Mereka tak menciptakan teknologi, tak menjatuhkan bom, tak mencetak uang. Tapi di balik grafik harga, keputusan mereka menentukan siapa yang bisa hidup nyaman dan siapa yang harus menghitung ulang nafkah minggu depan.”
Jakarta, 12 Juli 2025
REFERENSI
1. Daniel Yergin – The Prize: The Epic Quest for Oil, Money, and Power (Simon & Schuster, 1991)
2. Giacomo Luciani – The Rentier State and the Arab World (Croom Helm, 1990)
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, bisnis dan marketing, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World
https://www.facebook.com/share/1CXVzQLeDs/?mibextid=wwXIfr