Oleh: Desy Proklawati
Malam selalu datang tanpa bertanya,
membawa warna coklat di langit,
meninggalkan jalan-jalan basah
yang tampak seperti sungai keruh mengalir.
Aku duduk di dekat jendela,
menghadap gelap,
dan tiba-tiba ingatan tentangmu
menyelinap begitu saja.
Aku tidak tahu mengapa kabar kepergianmu
terasa seperti hujan yang jatuh ke atap bumi.
Bunyinya sederhana,
namun jejaknya menyusup sampai ke dalam dada.
Ada ruang kosong yang tak bisa ditambal,
ruang yang dulu terisi oleh percakapan,
oleh tawa kecil,
oleh keyakinanmu pada kata-kata.
Engkau pernah berkata:
bahwa menulis adalah cara
meninggalkan tubuh tanpa benar-benar pergi.
Aku tidak sepenuhnya percaya waktu itu,
namun kini aku mengerti.
Tubuhmu telah tiada,
tetapi kata-kata yang lahir dari tanganmu
masih berkeliaran di udara,
masih berbisik di telinga siapa pun yang mendengar.
Kematian itu aneh.
Ia hadir begitu tenang,
tanpa mengetuk pintu,
lalu membawa pergi seseorang
yang kita kira masih lama bersama kita.
Aku ingin marah,
tapi kepada siapa?
Aku ingin menolak,
tapi bagaimana caranya?
Maka aku hanya duduk,
menatap malam,
menerima bahwa hidup memang rapuh
seperti kertas yang mudah sobek.
Namun, bukankah engkau dulu berkata
bahwa kertas juga adalah bumi?
Bahwa menulis di atasnya
adalah cara lain untuk bercocok tanam?
Kini aku percaya,
sebab dari kertas-kertas yang kau isi,
tumbuh pohon ingatan
yang menaungi banyak orang.
Ada sungai yang terus mengalir dalam ingatanku.
Keruh, getir, namun tak pernah berhenti.
Dari situlah aku belajar mencintai kehilangan,
meski ia pahit,
meski ia tak menawarkan jawaban.
Sama seperti aku mencintai bumi,
tanpa pernah jadi petani.
Sama seperti aku mencintai langit,
meski warnanya berubah-ubah.
Kehilangan pun bisa dicintai,
sebab ia mengajarkan kita berdoa
dengan lebih sungguh,
mengajarkan kita merindu
dengan lebih jujur.
Engkau kini bukan lagi tubuh,
melainkan bayangan yang hadir dalam doa.
Bukan lagi suara,
melainkan gema yang datang
setiap kali kami menyebutmu dalam hati.
Dan aku merasa,
barangkali engkau pun mendengar kami
meski jarak ini tak lagi bisa ditembus.
Malam semakin larut,
dan aku masih duduk di sini,
membiarkan kata-kata menetes perlahan.
Aku ingin berbicara denganmu
dengan bahasa paling biasa:
engkau dirindukan.
Tidak ada kalimat lain
yang lebih tulus dari itu.
Dirindukan dalam percakapan,
dalam diskusi yang tak sempat selesai,
dalam tawa yang mendadak terputus.
Dirindukan bahkan oleh mereka
yang hanya sekali saja
mendengar namamu lewat karya.
Kerinduan itu membuatku sadar
bahwa engkau tidak pernah benar-benar hilang.
Engkau kini adalah cahaya kecil,
yang datang setiap kali sunyi terasa panjang.
Engkau kini adalah langit,
yang lapangnya mengajari pohon-pohon berdoa.
Engkau kini adalah sungai,
yang meski keruh,
tetap mengalir membawa kehidupan.
Aku menutup mata,
dan mengirimkan doa sederhana:
semoga engkau bahagia di ruang yang lapang,
di tempat di mana waktu berhenti,
di langit yang tidak lagi berubah warna.
Sementara kami di sini
akan terus menuliskan namamu dalam hati,
akan menjaga jejakmu
sebagai tanda bahwa pernah ada seseorang
yang percaya bahwa kata-kata
dapat menjadi cahaya.
Malam pun usai.
Namun dalam kesenyapan,
aku tahu engkau masih ada,
sebagai bayangan yang tak padam,
sebagai ingatan yang tetap hidup,
sebagai puisi yang abadi.
Malang 17 Agustus 2025
BIONARASI PENULIS
Penulis Bernama lengkap Desy Proklawati, lahir di kota Palembang pada tanggal 17 Agustus 1987. Sejak kelas 1 SD, Ia telah menyukai dunia sastra, terutama puisi. Desy, sapaan akrabnya, saat itu sudah suka menulis puisi pendek dan sering atas inisiatif sendiri mengikuti lomba membaca puisi antar sekolah. Namun, kejuaraan membaca puisi tidak langsung Ia peroleh. Baru di saat SMP, Ia mulai berhasil menjuarai berbagai lomba membaca puisi serta sering mewakili sekolah hingga berlanjut tingkat SMA dan Perguruan Tinggi.
Masuk masa kuliah, Desy melanjutkan pendidikan S1 ke jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang melalui jalur prestasi (PMDK) dan melanjutkan pendidikan S2 di jurusan yang sama. Kini Ia sudah menjadi seorang dosen dan tengah menjalani pendidikan S3.
Penulis kini mulai kembali menekuni hobinya dan kesenangannya berkecimpung dalam dunia sastra. Impiannya adalah bisa membuat karya-karya sastra yang berkualitas serta mampu ikut serta dalam membina dan mengembangkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang indah, mudah digunakan dan banyak dipelajari oleh warga negara lokal serta warga negara asing.