Oleh ; Akaha Taufan Aminudin
Romo Sindhunata, atau Dr. Gabriel Possenti Sindhunata SJ, adalah sosok yang tak sekadar dikenal sebagai sastrawan klasik penulis “Anak Bajang Menggiring Angin,” tapi juga sebagai filsuf, budayawan, dan jurnalis kawakan dari Kota Batu, Jawa Timur.
Dalam artikel ini, kita akan menelusuri perjalanan hidup dan karya-karya beliau yang sarat makna, sekaligus melihat warisan intelektual yang diwarisinya kepada masyarakat Indonesia.
*Dengan gaya yang ringan tapi reflektif, mari kita menyelami dunia Romo Sindhunata, adik kandung Martinus Dwianto Setyawan yang juga dijuluki wong Mbatu sae.*
Pernahkah Anda bertemu atau mendengar sosok yang sekaligus bisa menggoreskan pena sebagai sastrawan, melanglang buana sebagai wartawan, dan mendalami filsafat hingga jenjang doktoral?
Romo Sindhunata adalah gambaran nyata dari keberagaman itu, yang dengan cerdas menenun berbagai disiplin ilmu dan pengalaman hidup ke dalam karya-karya yang tidak hanya memikat perhatian sejumlah pembaca, tapi juga menggugah pemikiran.
Lahir tanggal 12 Mei 1952 di Kota Batu, Jawa Timur, Romo Sindhunata menapaki dunia mulai dari Seminarium Marianum di Lawang, hingga menjejakkan kakinya ke ruang-ruang intelektual di Jerman, di Hochschule für Philosophie SJ München.
Tentunya, perpaduan antara akar budaya lokal dan kecakapan intelektual global itu bukan tanpa alasan membentuk karakter beliau yang unik—seorang wong Mbatu sae, yang penuh kebijaksanaan dan keramahan.
Karya-karyanya layaknya kanvas luas yang mengalirkan warna-warni cerita, filsafat, dan perenungan kemanusiaan. “Anak Bajang Menggiring Angin” bukan hanya sebuah karya sastra, tetapi juga sebuah jendela yang membuka pandangan kita terhadap dimensi sejarah dan budaya Jawa dalam balutan narasi sastra modern. Tak hanya itu, sebagai jurnalis di Harian Kompas sejak 1977, ia menulis kolom sepak bola yang menghidupkan pengalaman membaca serta rubrik-rubrik kemanusiaan yang kaya jiwa.
Yang menarik, Romo Sindhunata tidak hanya berdiam di ranah seni dan jurnalistik. Dalam bidang filsafat dan teologi, ia menulis karya ilmiah yang mendalam, seperti “Dilema Usaha Manusia Rasional” dan “Sakitnya Melahirkan Demokrasi,” yang memperlihatkan bagaimana beliau menyikapi persoalan sosial dengan pendekatan pemikiran kritis nan humanis. Bahkan karya-karya beliau dalam bahasa Jawa—seperti “Aburing Kupu-Kupu Kuning”—menggarisbawahi kecintaan pada bahasa dan budaya leluhur.
Sebagai penanggung jawab Majalah BASIS, ia turut memandu arus pemikiran dan diskursus intelektual di Indonesia, khususnya dalam ranah filsafat dan budaya. Lewat kolom “Blencong” di Harian Suara Merdeka, beliau secara konsisten menyuarakan refleksi dalam bahasa Jawa yang hangat dan penuh kearifan lokal.
Menariknya, Romo Sindhunata juga plong dengan humor dan berbagai kajian unik—seperti buku tentang “Ilmu Ngglethek Prabu Minohek” yang mengangkat esensi tertawa dan dagelan ludruk, hingga filosofi sederhana dalam “Waton Urip” yang mengkaji seluk-beluk kehidupan lewat kacamata slebor becak. Ini menunjukkan bagaimana ia mampu mengajak kita merenung dan tertawa dalam waktu yang bersamaan.
Sebagai penulis trilogi sepak bola: “Air Mata Bola,” “Bola di Balik Bulan,” dan “Bola-Bola Nasib,” Sindhunata menegaskan bahwa olahraga pun bisa menjadi medium untuk menggali sisi kemanusiaan dan budaya yang lebih dalam. Dengan lensa itu, sepak bola bukan hanya permainan, melainkan juga sebuah panggung besar tentang nasib, harapan, dan kisah hidup.
Setiap karya dan perjalanan hidup Romo Sindhunata adalah cermin dari kualitas intelektual dan kecintaan yang tulus pada budaya dan kemanusiaan. Ia mengajarkan kita bahwa untuk menjadi seorang “wong Mbatu sae” tidak cukup hanya dengan keturunan atau asal-usul, tapi bagaimana kita merajut hidup dengan ilmu, rasa empati, dan kreativitas.
Bila Anda menginginkan inspirasi dari sosok yang menggabungkan filosofi, sastra, humor, dan kepekaan sosial dalam satu paket, Romo Sindhunata adalah jawabannya. Mari kita rayakan dan terus gali warisan intelektual beliau, yang tidak hanya menaikkan kebanggaan lokal tapi juga memberi warna bagi khazanah budaya Indonesia.
Bagaimana menurut Anda? Apakah di tengah arus modernisasi yang cepat ini, sosok seperti Romo Sindhunata bisa menjadi penyeimbang dan pengingat akan akar budaya dan refleksi yang mendalam? Yuk, bagikan pemikiran Anda! Mungkin ini saat yang tepat untuk mengajak lebih banyak orang mengenal dan mengapresiasi warisan besar dari wong Mbatu sae yang satu ini.
Kamis Legi 7 Agustus 2025
Drs. Akaha Taufan Aminudin
*Sisir Kampung Baru Literasi SIKAB Himpunan Penulis Pengarang Penyair Nusantara HP3N Kota Batu Wisata Sastra Budaya SATUPENA JAWA TIMUR*