Oleh: Rizal Tanjung
Untuk Martinus Dwianto Setiawan
yang hidupnya adalah puisi panjang—tak pernah selesai dibaca, tapi abadi di dada.
Aku lahir
bukan dari rahim sejarah,
bukan pula dari rahim takdir para pemenang,
melainkan dari sela-sela doa ibu yang gugur sebelum subuh,
dan udara pagi yang lupa menyebut namaku.
Aku adalah anak dari diam dan debu,
yang tumbuh di antara akar-akar waktu
dan suara radio tua yang mengabarkan dunia
dari kampung yang tak pernah dicatat peta.
Aku bukan siapa-siapa,
tapi setiap desir napasku adalah kesaksian
bahwa manusia tak perlu menjadi terkenal
untuk menjadi abadi di mata luka.
Aku mencintai
seorang perempuan yang tak tahu aku ada.
Kupahat namanya di dinding kalbu
dengan paku-paku harap,
dan ketika ia berlalu,
suara langkahnya berubah menjadi sajak
yang tak sempat kuucapkan.
Aku belajar cinta
bukan dari film atau romansa buku,
tapi dari bagaimana senja menghilang
tanpa berpamitan kepada laut.
Aku sekolah,
bukan untuk jadi siapa-siapa,
tapi agar kesepianku punya kata-kata.
Aku kuliah,
bukan untuk mengejar ijazah,
tapi agar pikiranku tak punah
oleh rutinitas yang terus menggigiti jiwa.
Dan ketika aku berdiri di depan kelas,
mengajar anak-anak
yang pikirannya lebih ramai dari kampus,
aku tahu:
ilmu bukanlah jawaban,
melainkan pertanyaan yang tak pernah habis digali
di antara kopi pagi dan duka abadi.
Ibuku pergi
seperti daun yang tahu waktunya jatuh.
Tak ada tangis, hanya langit yang gelap lebih lama dari biasanya.
Sejak saat itu, aku tahu:
kehilangan bukan soal siapa yang tiada,
tapi tentang suara yang tak lagi bisa kita dengar
dalam ruang paling sunyi bernama dada.
Negeriku,
aku mencintaimu sebagaimana
seorang buta mencintai matahari:
bukan karena melihatmu,
tapi karena hangatmu pernah menyelamatkanku dari beku.
Namun kau lebih sering menikamku
dengan birokrasi, tipu daya, dan janji manis yang berubah jadi lumpur.
Kau jadikan kami rakyatmu
sebagai kayu bakar dari pesta-pesta kekuasaan.
Dan aku menulis puisi
agar luka kami tidak punah dalam warta palsu.
Aku tua
tanpa pernah benar-benar menjadi tua.
Rambutku memutih,
tapi rinduku pada kebenaran tak pernah keriput.
Dulu mereka memanggilku guru,
sekarang mereka memanggilku “mantan”.
Tapi tak apa.
Sebab aku masih punya pena,
dan pena tak pernah pensiun menulis kebenaran.
Bila kau tanya aku:
apakah hidup ini indah?
Akan kujawab:
hidup ini seperti air hujan pertama
yang turun ke tanah gersang,
ia menyakitkan akar-akar kering,
tapi menumbuhkan bunga yang tak bisa dijelaskan oleh sains.
Aku tak ingin dikenang sebagai pahlawan,
tidak pula sebagai tokoh agung di buku sejarah.
Cukuplah bila satu anak muda
di suatu malam sunyi
membaca bait puisiku dan berkata:
> “Aku tidak sendiri. Aku juga pernah luka. Tapi aku tak menyerah.”
Dan jika kelak aku mati,
tolong jangan dirayakan.
Cukup kuburkan aku di tanah kecil,
tanpa batu nisan,
tanpa pidato palsu,
cukup taburkan satu puisi
dan satu doa:
“Ia pernah hidup dalam sunyi, dan menjadikan sunyi itu terang bagi yang lain.”
> “Karena hidup bukan tentang dikenang banyak orang,
tapi tentang menyentuh satu jiwa yang nyaris hilang.”
— Martinus Dwianto Setiawan.
Sumatera Barat,2025
“Nyanyian Sunyi: Elegi Seorang yang Pernah Menjadi Manusia”
Oleh: Rizal Tanjung
> Untuk Martinus Dwianto Setiawan
yang hidupnya adalah puisi panjang—tak pernah selesai dibaca, tapi abadi di dada.
Aku lahir
bukan dari rahim sejarah,
bukan pula dari rahim takdir para pemenang,
melainkan dari sela-sela doa ibu yang gugur sebelum subuh,
dan udara pagi yang lupa menyebut namaku.
Aku adalah anak dari diam dan debu,
yang tumbuh di antara akar-akar waktu
dan suara radio tua yang mengabarkan dunia
dari kampung yang tak pernah dicatat peta.
Aku bukan siapa-siapa,
tapi setiap desir napasku adalah kesaksian
bahwa manusia tak perlu menjadi terkenal
untuk menjadi abadi di mata luka.
Aku mencintai
seorang perempuan yang tak tahu aku ada.
Kupahat namanya di dinding kalbu
dengan paku-paku harap,
dan ketika ia berlalu,
suara langkahnya berubah menjadi sajak
yang tak sempat kuucapkan.
Aku belajar cinta
bukan dari film atau romansa buku,
tapi dari bagaimana senja menghilang
tanpa berpamitan kepada laut.
Aku sekolah,
bukan untuk jadi siapa-siapa,
tapi agar kesepianku punya kata-kata.
Aku kuliah,
bukan untuk mengejar ijazah,
tapi agar pikiranku tak punah
oleh rutinitas yang terus menggigiti jiwa.
Dan ketika aku berdiri di depan kelas,
mengajar anak-anak
yang pikirannya lebih ramai dari kampus,
aku tahu:
ilmu bukanlah jawaban,
melainkan pertanyaan yang tak pernah habis digali
di antara kopi pagi dan duka abadi.
Ibuku pergi
seperti daun yang tahu waktunya jatuh.
Tak ada tangis, hanya langit yang gelap lebih lama dari biasanya.
Sejak saat itu, aku tahu:
kehilangan bukan soal siapa yang tiada,
tapi tentang suara yang tak lagi bisa kita dengar
dalam ruang paling sunyi bernama dada.
Negeriku,
aku mencintaimu sebagaimana
seorang buta mencintai matahari:
bukan karena melihatmu,
tapi karena hangatmu pernah menyelamatkanku dari beku.
Namun kau lebih sering menikamku
dengan birokrasi, tipu daya, dan janji manis yang berubah jadi lumpur.
Kau jadikan kami rakyatmu
sebagai kayu bakar dari pesta-pesta kekuasaan.
Dan aku menulis puisi
agar luka kami tidak punah dalam warta palsu.
Aku tua
tanpa pernah benar-benar menjadi tua.
Rambutku memutih,
tapi rinduku pada kebenaran tak pernah keriput.
Dulu mereka memanggilku guru,
sekarang mereka memanggilku “mantan”.
Tapi tak apa.
Sebab aku masih punya pena,
dan pena tak pernah pensiun menulis kebenaran.
Bila kau tanya aku:
apakah hidup ini indah?
Akan kujawab:
hidup ini seperti air hujan pertama
yang turun ke tanah gersang,
ia menyakitkan akar-akar kering,
tapi menumbuhkan bunga yang tak bisa dijelaskan oleh sains.
Aku tak ingin dikenang sebagai pahlawan,
tidak pula sebagai tokoh agung di buku sejarah.
Cukuplah bila satu anak muda
di suatu malam sunyi
membaca bait puisiku dan berkata:
> “Aku tidak sendiri. Aku juga pernah luka. Tapi aku tak menyerah.”
Dan jika kelak aku mati,
tolong jangan dirayakan.
Cukup kuburkan aku di tanah kecil,
tanpa batu nisan,
tanpa pidato palsu,
cukup taburkan satu puisi
dan satu doa:
“Ia pernah hidup dalam sunyi, dan menjadikan sunyi itu terang bagi yang lain.”
> “Karena hidup bukan tentang dikenang banyak orang,
tapi tentang menyentuh satu jiwa yang nyaris hilang.”
— Martinus Dwianto Setiawan.
Sumatera Barat,2025
“Elegi dari Kota Batu: Puisi Panjang untuk Martinus Dwianto Setiawan”
Oleh: Rizal Tanjung
Di kota yang dinamai dari kerasnya batu,
hidup seorang lelaki yang hatinya lebih lunak dari senja,
menulis bukan untuk dihormati,
melainkan untuk menemani anak-anak yang dilupakan dunia.
Ia menulis bukan di meja marmer,
melainkan di meja reyot bekas jualan gorengan,
dengan pensil yang patah dua kali,
dan tinta yang ia seduh dari hujan kemarin sore.
Angin di Batu tahu namanya,
kabut memanggilnya pelan,
anak-anak menyebutnya dengan tawa,
sementara orang dewasa menyebutnya:
siapa?
karena tak pernah ia menjadi tamu di ruang ber-AC
atau disebut dalam spanduk literasi yang berdebu.
Ia menciptakan Sersan Grung-Grung
dari kardus dan kertas nasi,
prajurit imajiner yang tidak tahu perang,
tapi hafal bentuk ketakutan anak kecil
saat lilin terakhir padam sebelum tidur.
“Malam adalah monster,” tulisnya,
“tapi buku bisa menjadi jendela yang tak dikunci.”
Dan ia menulis malam,
bukan malam romantis ala televisi,
melainkan malam yang dihuni suara perut lapar
dan bayangan bapak yang tak pulang-pulang.
Ia mengirim surat kepada Menteri Budaya
yang terlalu sibuk membagi beasiswa bagi penyair yang
tak pernah menulis untuk anak-anak.
Surat itu tak pernah dibaca,
tenggelam di antara undangan gala dinner
dan proposal festival luar negeri.
Di negeri ini,
penulis cerita anak bukan pekerjaan,
melainkan kesunyian panjang
yang dipanggil dengan sapaan:
“Kenapa tidak menulis novel cinta saja?”
Dan pada hari ketika tubuhnya
mengucap selamat tinggal di kamar rumah sakit tua,
tak ada koran yang menulis namanya,
tak ada pelayat dari kementerian,
hanya suara bocah yang berbisik:
“Pak Dwi, saya suka cerita Sersan Grung-Grung,
boleh saya bacakan untuk adik saya malam ini?”
Ia wafat seperti daun yang lelah bergantung,
jatuh pelan di halaman tak bertanda.
Nisannya tidak menyebut “sastrawan”,
hanya nama dan angka tahun—
tapi barangkali itu cukup
bagi lelaki yang lebih percaya pada kenangan
daripada penghargaan.
Kini, perpustakaan sunyi menyimpan napasnya,
buku-bukunya sudah tak dicetak ulang,
tapi di tangan anak-anak
yang masih mau percaya pada pelangi,
ceritanya hidup lebih panjang dari usia fisik.
Martinus, engkau tidak pernah duduk di sofa televisi nasional,
tidak diundang dalam forum literasi internasional,
tidak mengenal “sponsor resmi”.
Tapi engkau mengajari kami,
bahwa yang paling penting dari menulis
adalah: mendengar yang tak punya suara.
Dan anak-anak pun belajar darimu,
bukan tentang cara memenangkan lomba cerpen,
tapi tentang bagaimana menanam benih imajinasi
di tanah yang kering dan penuh reruntuhan gawai.
Kini, kota Batu masih berkabut,
tapi kami tahu, di balik lembut embun itu,
ada engkau yang duduk diam di atas awan kecil,
masih menulis,
masih mendongeng,
masih membisikkan cerita
untuk anak-anak
yang ingin menjadi baik
walau dunia telah begitu rusak.
Dan kami,
para dewasa yang terlambat tumbuh,
membaca elegi ini dengan dada kosong,
sebab kami sadar—
kami bukan lagi anak-anak,
tapi kami telah kehilangan
satu-satunya penulis yang masih menganggap
mimpi bocah adalah hal yang layak diperjuangkan.
Martinus Dwianto Setiawan,
engkau bukan sekadar nama di batu,
engkau adalah suara dari halaman yang tak dicetak,
nafas dari buku-buku yang dibacakan ibu
dengan mata basah.
Tidurlah, penulis sunyi.
Tidurlah dalam damai kisah yang abadi.
Kami akan melanjutkan dongengmu
dengan pena yang kau tinggalkan,
dan jika suatu saat ada anak yang bertanya:
“Siapa yang menciptakan Sersan Grung-Grung?”
Maka kami akan jawab:
Seorang lelaki dari kota berkabut,
yang menulis untuk cinta,
dan menulis untuk kehilangan,
dan menulis untuk dunia
yang telah terlalu dewasa
untuk menjadi waras.
> “Ia menulis sunyi. Kita membaca kehilangan. Tapi dari kehilangan itulah, kita mengenang cahaya.”
Sumatera Barat,2025.
Rizal Tanjung: adalah Seniman/ Budayawan Sumatera Barat.
Bionarasi
Rizal Tanjung adalah seorang seniman dan budayawan kelahiran Padang, 5 Februari 1959, yang telah mendedikasikan hidupnya di dunia seni sejak tahun 1975. Menempuh pendidikan di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Padang, Rizal Tanjung terus menapaki perjalanan berkesenian dengan mendirikan Teater Moeka pada tahun 1979, yang kemudian bertransformasi menjadi Old Track Teater pada tahun 2004.
Sebagai tokoh penting dalam perkembangan seni di Sumatera Barat, ia telah menyutradarai 63 pementasan drama di berbagai daerah di Indonesia. Selain itu, ia aktif menulis di berbagai media cetak lokal dan nasional, dengan karya yang mencakup naskah lakon, cerpen, cerbung, puisi, artikel kebudayaan, serta makalah pengembangan seni tradisional, modern, dan kontemporer. Beberapa karyanya yang dikenal di antaranya Sandiwara Sandiwara, Minus I, Melody, Kaco Batuang, Harimau Agam di Negeri Cina, Trilogi Asal Usul Danau Maninjau, dan Ruang Hampa.
Dalam bidang organisasi, Rizal Tanjung pernah menjabat sebagai Ketua Teater Moeka Padang, Ketua Lembaga Kesenian Old Track, Ketua Lembaga Pendidikan Sekapur Sirih, dan Ketua Forum Komunikasi Media Tradisional (FK-METRA) Padang. Ia juga pernah menjadi pengurus di Dewan Kesenian Sumatera Barat dan Dewan Kesenian Padang, serta aktif di Lembaga Bumi Kebudayaan dan Lembaga Masyarakat Budaya Minangkabau ( LMB Minangkabau)
Kiprahnya tidak hanya di panggung teater, tetapi juga sebagai pengamat, dewan juri, narasumber, dan kurator di berbagai instansi pemerintah seperti Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan, Dinas Kebudayaan, Dinas Kominfo, UPTD Taman Budaya, dan perguruan tinggi di Sumatera Barat. Rizal Tanjung juga pernah menjadi kurator di Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK), menunjukkan kontribusi besarnya dalam menjaga dan mengembangkan kebudayaan lokal.
Dedikasi dan konsistensinya menjadikan Rizal Tanjung sebagai salah satu tokoh penting dalam lanskap seni dan budaya Sumatera Barat, yang terus memperjuangkan keberlangsungan tradisi melalui karya dan pemikiran kreatif.
+62 895-3331-45071