Pengantar Buku Perjalanan Haji Elza Peldi Taher: Mencari Tuhan di Tanah Para Nabi
Oleh Denny JA
“Di tengah zikir yang berulang-ulang, seekor burung hinggap di lantai marmer tak jauh dari sajadahku. Ia tidak takut, tidak gelisah. Ia hanya melihatku sejenak, lalu berjalan kecil, seperti sedang thawaf juga.
Saat itulah aku menyadari: kota ini tidak hanya dipenuhi manusia yang datang karena rindu, tapi juga makhluk-makhluk bersayap yang ikut memuliakan rumah Tuhan.
Pikiranku mulai hening, aku mulai lebih memperhatikan hal-hal kecil yang dulu terlewat: angin pagi, detik waktu, dan burung-burung itu.”
Ada sesuatu yang menggugah dari cara Elza Peldi Taher memulai bab ke-46 dalam bukunya yang reflektif: Mencari Tuhan di Tanah Para Nabi.
Ia tidak memulai dengan dalil atau teori spiritual. Ia memulai dari zikir, seekor burung, dan lantai marmer Masjidil Haram.
Di sanalah letak kekuatan buku ini: kesederhanaan yang menyentuh. Kontemplasi yang organik. Dan pengalaman spiritual yang tak dibuat-buat.
Buku ini bukan sekadar catatan perjalanan ibadah haji. Ia bukan panduan manasik. Ia adalah ziarah batin, sebuah jurnal eksistensial yang ditulis dari kedalaman hati seorang peziarah.
Sang peziarah kadang merasa ragu, kadang marah, kadang bahkan hampa, namun terus berjalan, terus mencari.
-000-
Buku ini tidak hanya memotret Ka’bah dan Masjid Nabawi, tetapi juga memotret wajah batin penulisnya, dalam berbagai ekspresi: lelah, terpukul, gembira, hening, penuh air mata.
Buku ini cukup tebal, lebih dari 400 halaman, lima bab besar, dan 55 esai. Ibarat buku ini samudra, saya menemukan tiga intan, yang merupakan tiga gagasan utama.
Pertama: Tuhan Tidak Tinggal di Tanah Suci, Ia Bersarang di Ruang Kosong Dalam Diri
Banyak orang membayangkan naik haji adalah jalan pintas untuk “menemui Tuhan”.
Seolah-olah Ka’bah rumah eksklusif Sang Pencipta. Cukup dengan menyentuh dindingnya, segala persoalan hidup akan dibereskan secara otomatis.
Buku ini dengan berani membongkar ilusi itu. Elza menggambarkan bagaimana ia tiba di Mekkah dengan koper penuh harap, tapi justru dihantui kesunyian dan kebingungan.
Di tengah lautan manusia, ia merasa sepi. Di tempat yang katanya paling sakral, ia justru merasa paling jauh dari Tuhan. Mengapa?
Karena Tuhan tak bisa ditemukan di luar jika hati masih riuh, jika ego masih bising.
Karena Tuhan bukan tempat—ia adalah ruang. Dan ruang itu tak akan terisi jika kita tak berani mengosongkan diri.
Buku ini menuntun pembaca menuju satu kesadaran penting: spiritualitas bukan soal lokasi, tapi kondisi batin.
Ia adalah kesediaan untuk diam, untuk jujur pada luka, dan untuk pasrah pada ketidaktahuan.
Inilah sebabnya mengapa gagasan ini penting. Kita hidup dalam era di mana agama kerap dikerdilkan menjadi label, ritual, atau kompetisi moral.
Kita saling menilai dari seberapa sering ke tanah suci, seberapa fasih bicara dalil.
Padahal, menurut buku ini, Tuhan bisa lebih dekat pada seseorang yang duduk termenung dalam sunyi kamar, menyesali kesalahan, dibanding pada mereka yang berdoa keras di depan Ka’bah tapi tanpa rasa.
Haji yang sejati bukan tentang berjalan ke Tanah Suci, melainkan berani berjalan menuju ruang terdalam dari hati sendiri.
Di situlah tempat Tuhan yang menunggu dalam keheningan.
-000-
Kedua: Ritual Tak Mengubah Apa-apa Jika Tak Membunuh Ego
Salah satu momen paling menggugah dalam buku ini ketika penulis menyaksikan lelaki tua buta yang thawaf dalam gelap.
Tak ada kesempurnaan gerakan, tak ada kefasihan bacaan, tapi di wajah lelaki itu, penulis melihat cahaya: ketulusan.
Di sisi lain, ia melihat dirinya sendiri—berpenampilan rapi, hafal urutan manasik, tapi hatinya kosong.
Di sinilah titik balik pemahaman spiritual: bahwa ritual hanyalah bungkus, yang tanpa isi bisa jadi sekadar formalitas.
Gagasan ini menohok kita semua yang telah menjadikan ibadah sebagai rutinitas prestisius. Kita sering menunaikan kewajiban, tapi menunda kejujuran.
Kita lempar jumrah dengan batu, tapi tak pernah benar-benar melempar kesombongan.
Kita mencukur rambut saat tahallul, tapi masih memelihara keangkuhan.
Dalam buku ini, Elza menunjukkan transformasi spiritual bukan terjadi karena kita menyentuh Ka’bah, tapi karena kita menyentuh kelemahan dan kejujuran diri sendiri.
Mengapa gagasan ini penting? Karena hari ini, kita hidup di era simbol. Simbol kesalehan dipamerkan: gelar “Haji”, busana Islami, kutipan ayat.
Tapi apakah itu semua membunuh ego? Atau justru memperhalusnya?
Buku ini mengingatkan bahwa ibadah tidak akan mengubah siapa pun, jika tak disertai kehancuran ego, yang selalu menolak dikalahkan.
Dan justru, dalam kehancuran itulah benih baru tumbuh: kerendahan hati, empati, dan kebutuhan akan kasih Tuhan yang tak bersyarat.
Di titik inilah, kita akhirnya “beragama” bukan karena takut dosa, tapi karena rindu pulang.
-000-
Ketiga: Ziarah Adalah Awal, Bukan Akhir: Iman Itu Lingkaran, Bukan Garis Lurus
Kita sering mengira, setelah naik haji maka perjalanan spiritual selesai. Seolah-olah haji adalah titik puncak dari kesalehan, dan sepulangnya kita hanya perlu mempertahankan status “sudah haji.”
Tapi Elza membalikkan logika itu. Dalam penutup bukunya, ia menulis: “Biarlah waktu yang menjawab apakah aku telah berubah. Sebab sejatinya, pencarian spiritual adalah lingkaran yang tak pernah selesai.”
Gagasan ini menggugah cara kita memahami iman. Iman bukan garis lurus yang naik terus. Ia seperti musim: datang dan pergi, mekar dan gugur.
Ada saat kita merasa dekat dengan Tuhan, ada saat kita kehilangan arah. Dan itu bukan kegagalan—itu kemanusiaan.
Justru dengan menyadari bahwa iman rapuh, kita bisa terus merawatnya. Haji bukan garis akhir, tapi garis mula. Ia adalah pelatuk perubahan, bukan jaminan keabadian.
Mengapa penting? Karena banyak orang tenggelam dalam euforia keagamaan yang statis. Mereka merasa sudah sampai, lalu berhenti belajar, berhenti bertanya.
Buku ini menegaskan: semakin dekat kita kepada Tuhan, semakin kita menyadari bahwa kita tak pernah selesai mencari-Nya.
Iman sejati bukan yang merasa telah menemukan semua jawaban, tapi yang terus menggali, terus bersujud—bukan untuk menunjuk-nunjuk surga, tapi untuk merenungkan kedalaman.
-000-
Membaca buku renungan Elza Peldi Taher ini mengingatkan saya pada satu karya besar, juga tentang perjalanan haji.
Pada tahun 1954, seorang Yahudi asal Austria bernama Leopold Weiss menulis karya klasiknya, The Road to Mecca.
Setelah menjadi mualaf dan berganti nama menjadi Muhammad Asad, ia menunaikan haji dan mencatat transformasi eksistensialnya.
Seperti Elza, ia juga menulis dari kegelisahan. Ia menolak Islam sebagai dogma mati. Ia ingin memeluknya sebagai perjalanan hidup.
Kesamaan keduanya adalah kejujuran spiritual. Asad bertolak dari pencarian intelektual, Elza dari pencarian emosional.
Tapi keduanya berpijak pada pertanyaan yang sama: “Siapa aku di hadapan Tuhan?” Keduanya menolak kepalsuan.
Keduanya menemukan iman bukan di podium, tapi di padang gersang: entah Padang Arafah, atau padang batin yang hampa.
Membaca Elza sama lezatnya dengan membaca Asad. Bedanya: Elza memakai bahasa Indonesia modern, penuh nuansa relasi, rasa, dan pengalaman kultural khas Nusantara.
Sedangkan Asad memakai bahasa inggris, dengan gaya filsuf eksil yang mencari rumah spiritualnya di Timur.
Namun dua-duanya menyentuh lapisan terdalam dari iman: kesadaran bahwa Tuhan bisa ditemukan jika kita cukup jujur menanggalkan segala topeng.
-000-
Ketika burung-burung mengitari Ka’bah, mereka tak membawa visa, tak membawa niat haji, tak bermazhab. Tapi mereka thawaf.
Seperti Elza katakan, mereka hadir dengan kepasrahan total. Dan mungkin, dalam banyak hal, kita harus belajar dari burung-burung itu: yang tidak sibuk menjadi “yang paling benar”, tapi cukup hadir, cukup mencinta, cukup mendekat.
Mencari Tuhan di Tanah Para Nabi bukan buku biasa. Ia adalah cermin spiritual yang akan menegur, menghibur, dan memeluk jiwa yang lelah.
Membaca buku ini bukan untuk tahu “bagaimana haji”, tapi untuk tahu “bagaimana menjadi manusia yang mencari jati diri.”
Karena sejatinya, haji adalah bukan tentang pergi ke Makkah, tetapi tentang berani kembali ke pusat diri. Dan menemukan Tuhan yang sedang menunggu, bukan di Ka’bah, tapi di keheningan hati kita sendiri. ***
Jakarta, 3 Agustus 2025
REFERENSI
1. Muhammad Asad, The Road to Mecca, Fons Vitae, 2000.
2. Titus Burckhardt, Fez: City of Islam, Islamic Texts Society, 1992.
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World
https://www.facebook.com/share/p/1AoKY9j2Do/?mibextid=wwXIfr