Radio Online


 

BeritaHiburanNasional

KEMBALIKAN BALI PADAKU: Kata Pengantar Buku Kumpulan Penulis SATUPENA Bali–NTT–NTB: Bali–Nusra dalam Pena Penyair (2025)

×

KEMBALIKAN BALI PADAKU: Kata Pengantar Buku Kumpulan Penulis SATUPENA Bali–NTT–NTB: Bali–Nusra dalam Pena Penyair (2025)

Sebarkan artikel ini

Oleh Denny JA

 

“Bali menari di panggung dunia,

tetapi musiknya dimainkan orang lain.”

 

— Wayan Suyadnya, “Kembalikan Bali Ku” (2025)

 

Bait ini bagai sayatan halus di dada setiap orang Bali yang masih merasa memiliki tanahnya, lautnya, dan roh leluhurnya.

 

Ia sederhana, tapi mengguncang kesadaran: Bali memang masih menari, tetapi tariannya kini diatur oleh tangan yang tak lagi mengenal mantra tanah ini.

 

Puisi “Kembalikan Bali Ku” karya Wayan Suyadnya bukan sekadar karya sastra. Ia adalah jeritan pelan, semacam doa yang berubah menjadi perlawanan terhadap apa yang disebutnya “surga yang dijual sedikit demi sedikit.”

 

Suyadnya menulis dari Denpasar pada 27 September 2025, tak lama setelah banjir besar mengguncang Pagerwesi—banjir yang bukan hanya air, tapi juga metafora tumpahnya keserakahan.

 

-000-

 

Puisi ini menelusuri paradoks Bali modern: pulau yang masih dijual sebagai destinasi spiritual, tapi ruhnya perlahan digadaikan kepada modal global.

 

Dalam puisinya, Suyadnya mencatat fakta pahit: 85 persen aset pariwisata kini bukan milik orang Bali. Hotel-hotel megah di Nusa Dua, vila di Canggu, restoran di Kuta, resort di Ubud—semuanya sudah berpindah tangan.

 

Data ini bukan ilusi puitik. Dalam laporan Bank Indonesia tahun 2024, sektor pariwisata menyumbang lebih dari 60% ekonomi Bali.

 

Tetapi kepemilikan properti dan investasi mayoritas dikuasai oleh modal luar daerah dan luar negeri. Sementara itu, harga tanah naik hingga seribu kali lipat dibanding tiga dekade lalu.

 

Di desa-desa pesisir, penduduk asli menjual tanah warisan karena tak sanggup membayar pajak yang melonjak, lalu bekerja di hotel yang berdiri di atas bekas sawah ayahnya.

 

Puisi ini berbicara tentang kehilangan yang lebih dalam dari sekadar ekonomi: kehilangan martabat. Ketika pantai melasti dipagari hotel, dan pura dijadikan ornamen pesta, maka yang dijual bukan hanya tanah, tapi juga kesucian.

 

Suyadnya menulis dengan bahasa peringatan—“eling, sadar, dan waspada”—seperti seorang pendeta yang berdoa di tengah badai globalisasi.

 

Dan memang, inilah tragedi pariwisata yang terlalu berhasil: ketika surga menjadi komoditas, penduduknya menjadi figuran. Bali, seperti Mallorca atau Phuket, kini hidup dari turisme, tapi tak lagi berdaulat atas dirinya sendiri.

 

Kembalikan Bali padaku, bukan berarti menolak dunia. Ia berarti mengembalikan keseimbangan antara tamu dan tuan rumah, antara pembangunan dan kebijaksanaan.

 

Agar tari Bali kembali diiringi musik yang berasal dari jantung tanahnya sendiri—bukan dari pengeras suara modal yang datang dari jauh.

 

Karena surga sejati bukan yang dijual di brosur,

melainkan yang masih bisa kita panggil dengan nama sendiri: Bali.

 

-000-

 

Mengingat Bali yang terlepas dari penduduk lokalnya, saya teringat kasus yang sama di Spanyol, dalam buku Mallorca and Tourism karya R. J. Buswell, terbit tahun 2021.

 

Ada pulau yang dahulu hidup dari tanahnya sendiri—dari kebun zaitun, dari angin laut yang membawa aroma asin dan bijak.

 

Namanya Mallorca. Pulau kecil di Laut Tengah ini pernah tenang seperti doa sore hari; sampai sebuah zaman datang membawa pesawat charter, kamera saku, dan janji kemakmuran bernama turisme.

 

Dalam Mallorca and Tourism: History, Economy and Environment, R. J. Buswell menulis kisah metamorfosis itu seperti kisah cinta yang berubah menjadi perdagangan.

 

Ia menelusuri bagaimana semenjak 1960-an, ketika Eropa mencari matahari murah dan pantai bersih, Mallorca membuka diri.

 

Hotel-hotel pertama dibangun di tepi pasir; investor datang dengan kertas izin dan senyum hangat; lalu perlahan, setiap bukit dan lembah mulai dipatok, diberi nama asing, dijual dalam mata uang yang lebih kuat dari bahasa ibu penduduknya.

 

Buswell menunjukkan, pariwisata memang menciptakan pekerjaan, tetapi juga menciptakan pengusiran yang halus. Rumah nelayan menjadi kafe. Lumbung menjadi vila.

 

Anak petani yang dulu mengenal nama setiap batu di kebunnya kini bekerja membersihkan kolam bagi wisatawan yang tak tahu di mana letak sumur tua di halaman itu.

 

Hasil bumi diganti dengan hasil sewa. Kepemilikan beralih tangan—bukan lewat perang, melainkan lewat kontrak yang panjang dan kata “investasi” yang terasa manis di bibir, tapi getir di hati.

 

Ironi terbesar terletak pada keberhasilan yang tampak. Data ekonomi melonjak, jumlah wisatawan menembus jutaan, tetapi yang tumbuh sesungguhnya adalah jarak antara orang dan tanahnya sendiri.

 

Pulau yang dulu hidup dari keseimbangan ekologis kini menjadi “pabrik liburan.” Dalam istilah Buswell, Mallorca telah menjelma “ruang konsumsi” di mana segala yang lokal—bahasa, budaya, bahkan cuaca—dijual sebagai merek dagang.

 

Dampaknya bukan hanya pada ekonomi, melainkan pada jiwa. Ketika rumah berubah menjadi properti dan pantai menjadi aset, manusia kehilangan sesuatu yang lebih sunyi: rasa memiliki.

 

Di banyak desa pesisir, generasi tua menatap laut yang sama tetapi merasa asing di hadapan pemandangan baru yang terlalu rapi, terlalu bersih, terlalu mahal untuk mereka sentuh.

 

Buswell menulis tanpa amarah, tetapi dengan kesedihan yang menular. Ia tahu modernitas tak bisa dihentikan, namun ia bertanya—berapa harga yang pantas untuk sebuah identitas?

 

Di balik statistik wisata, ia melihat tubuh pulau yang kelelahan: air tanah menipis, tanah subur tertutup beton, dan kebanggaan menjadi penduduk asli berganti menjadi rasa kecil di tanah sendiri.

 

Dan di titik ini, kisah Mallorca bersinggungan dengan Bali. Dua pulau yang sama-sama dijual pada dunia: satu di Laut Tengah, satu di Samudra Hindia.

 

Di Bali pun, vila-vila tumbuh seperti jamur; tanah warisan berubah menjadi resort; anak muda menjadi pekerja di tempat yang dulu milik keluarganya.

 

Bali menari di panggung dunia, kata seorang penyair, tetapi musiknya dimainkan orang lain.

 

Mallorca menjadi cermin. Ia mengingatkan bahwa turisme, bila kehilangan etika, adalah bentuk penjajahan paling halus—tanpa kapal perang, tanpa meriam, hanya dengan brosur indah dan kontrak panjang.

 

Pulau bisa makmur, namun kehilangan jiwa. Dan mungkin inilah paradoks zaman kita: manusia berbondong-bondong mencari surga, sementara penduduk surga perlahan kehilangan rumahnya sendiri.

 

-000-

 

Puisi Suyadnya soal Bali hanya salah satu karya di buku Satupena Bali–NTB–NTT: Bali–Nusra dalam Pena Penyair. Ini adalah mosaik kehidupan dari tiga pulau besar di timur Indonesia—Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

 

Ditulis oleh sembilan anggota Perkumpulan Penulis Satupena, buku ini bukan hanya antologi sastra, tetapi peta batin tentang manusia, tanah, dan perubahan zaman.

 

Mereka adalah: Dinullah Rayes, Dr. Jacyntha M. Nasution, I Nengah Suardhana, Regesti Salomi Bauana, Riyanto Rabbah, Robertus Fahik, Ruslan Wiryadi, Silviana Yanti Mesak, dan Wayan Suyadnya.

 

Ada lebih dari dua puluh lima karya di dalamnya—puisi, esai, dan cerpen—yang memotret denyut lokal dengan kejujuran yang langka.

 

Temanya membentang luas: dari ekologi dan bencana alam, perempuan dan patriarki, spiritualitas dan tradisi, hingga politik dan moral publik.

 

Wayan Suyadnya, selaku Koordinator Satupena Bali–NTT–NTB, menulis puisi-puisi sosial yang mengguncang seperti “Kembalikan Bali Ku,” “Fitnah,” dan “Pendidikan (yang) Korup.”

 

Ia menegaskan bahwa Bali bukan sekadar surga turistik, tetapi tanah yang sedang kehilangan pemilik sejatinya—seperti yang diuraikan di atas.

 

Silviana Yanti Mesak menghadirkan kisah getir “Anak Tangga,” tentang perempuan desa yang melawan dominasi suami dan adat.

 

Riyanto Rabbah menulis “Jejak Terakhir,” sebuah tragedi tentang cinta dan kehilangan yang berubah menjadi kegilaan sosial. Sementara Dinullah Rayes menggetarkan lewat doa dan renungan tentang ayah, ibu, dan tanah Sumbawa.

 

Robertus Fahik membawa pembaca ke Morotai, menulis esai tentang residensi literasi yang menyingkap wajah manusia di wilayah 3T.

 

Regesti Salomi Bauana menulis puisi “Atambua” dan “Rote Dalam Rindu,” yang lembut dan penuh nostalgia seperti suara perempuan yang mencari rumah.

 

Lalu Ruslan Wiryadi mengajak merenung lewat “Nyepi, Bumi Bali,” perayaan kesunyian yang menjadi napas bagi bumi dan jiwa.

 

Setiap tulisan terasa seperti fragmen mozaik yang saling melengkapi. Buku ini adalah surat panjang dari wilayah timur untuk Indonesia—tentang manusia yang masih percaya pada cahaya walau listrik sering padam; tentang laut yang tetap memberi makan meski tercemar oleh tumpahan kapal wisata.

 

-000-

 

Mengapa Buku Ini Penting

 

1. Karena ia merekam “Indonesia kecil” dari pinggiran.

 

Buku ini adalah dokumentasi budaya dan sosial yang lahir dari tepi. Ia menunjukkan bahwa suara literasi tak hanya tumbuh di Jakarta, tapi juga di tepi pantai Atambua, di sawah Karangasem, di pasar Bima, di gang sempit Denpasar.

 

Dalam bahasa yang jujur dan lugas, para penulis menulis bukan untuk mencari gaya, tetapi untuk menyelamatkan kenyataan.

 

Di tengah dunia yang serba digital, buku ini mengingatkan bahwa menulis masih bisa menjadi bentuk keberanian: keberanian untuk menjadi saksi.

 

2. Karena ia menyatukan keberagaman dalam kesadaran ekologis dan spiritual.

 

Dari puisi “Ikan yang Menolak Mati” hingga “Hujan Sia-sia,” kita diajak menatap luka bumi dengan hati. Bali, Lombok, dan NTT digambarkan sebagai ruang spiritual yang kini terancam oleh kerakusan manusia.

 

Alam di sini bukan latar, melainkan tokoh utama yang berdoa, menangis, dan menegur. Buku ini penting karena menanamkan kesadaran baru: menjaga bumi adalah bentuk tertinggi dari ibadah.

 

3. Karena ia meneguhkan harapan: sastra masih bisa menyatukan bangsa.

 

Di tengah polarisasi politik dan keringnya empati, karya-karya dalam buku ini menyapa dengan bahasa yang hangat. Ia tidak menghakimi, tapi mengingatkan.

 

Ia menghubungkan Bali yang hiruk pikuk dengan Nusa Tenggara yang sunyi, menganyamnya menjadi satu kesadaran nasional: bahwa Indonesia bukan hanya peta geografis, tetapi ruang batin bersama yang lahir dari kata.

 

Buku karya Satupena Bali–NTB–NTT adalah kitab kecil tentang kesetiaan: pada tanah, pada manusia, dan pada bahasa.

 

Membacanya seperti menyalakan pelita di ujung timur Indonesia—kecil, tapi cukup untuk menerangi hati yang letih mencari rumah bernama kebangsaan.

 

-000-

 

Pada akhirnya, buku Satupena Bali–NTB–NTT: Bali–Nusra dalam Pena Penyair adalah lebih dari sekadar kumpulan karya sastra.

 

Ia adalah cermin kebangsaan—tempat di mana kata-kata menjadi saksi bahwa manusia Indonesia masih memiliki kepekaan untuk menangis dan mencintai.

 

Dari Bali yang bising oleh wisata, Lombok yang bertahan dalam keindahan adat, hingga Nusa Tenggara yang keras tapi jujur, semua suara di buku ini berpadu seperti paduan gamelan yang tak seragam nadanya, tapi selaras di kedalaman maknanya.

 

Membaca buku ini serasa berjalan di antara sawah yang beralih jadi vila, laut yang berubah jadi halaman hotel, dan jiwa manusia yang tetap mencari cahaya di tengah kebisingan dunia modern.

 

Setiap kata yang ditulis adalah upaya merebut kembali ruang yang hilang—ruang batin, ruang budaya, ruang spiritualitas yang kian terdesak oleh angka-angka ekonomi.

 

Seperti doa yang dibisikkan di tengah hujan, para penulis Satupena dari Bali, NTB, dan NTT mengingatkan kita bahwa tanah air bukan sekadar tempat berpijak, melainkan tempat kita berhutang jiwa.

 

Mereka menulis agar kita tidak lupa: bahwa bahasa masih bisa menjadi ladang tempat menanam harapan, dan sastra masih bisa menjadi perlawanan yang paling sunyi tapi paling abadi.

 

Dan ketika Wayan Suyadnya menulis, “Bali menari di panggung dunia, tetapi musiknya dimainkan orang lain,” kita mendengar gema yang jauh lebih luas dari sekadar Bali.

 

Itu adalah suara dari seluruh Indonesia yang sedang bertanya: masihkah kita pemilik rumah ini?

 

Buku ini adalah jawaban lembut tapi tegas atas pertanyaan itu.

Ia tidak berteriak, tapi bergetar.

 

Ia tidak menuntut, tapi mengingatkan: bahwa yang sejati harus kembali.

Bahwa keindahan yang abadi hanya mungkin tumbuh dari tangan yang mencintai tanahnya sendiri.

 

Maka, kembalikan Bali padaku bukan hanya seruan seorang penyair kepada pulau kelahirannya,

melainkan panggilan bangsa kepada dirinya sendiri—agar kita tak kehilangan jiwa di tengah gemerlap dunia.

 

Karena bangsa yang kehilangan tanah airnya, pada akhirnya kehilangan dirinya sendiri.

 

Dan di titik itulah, sastra menjadi rumah terakhir yang menyelamatkan kita dari keterasingan. ***

 

Jakarta, 13 Oktober 2025

 

REFERENSI

 

1. Buswell, R. J. (2021). Mallorca and Tourism: History, Economy and Environment. Routledge.

 

2. Neef, Andreas (2021). Tourism, Land Grabs and Displacement: The Darker Side of the Feel-Good Industry. Routledge.

 

-000-

 

 

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

 

 

https://www.facebook.com/share/p/1ALN68fmDC/?mibextid=wwXIfr

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *