Radio Online


 

BeritaHiburanJawa timurNasional

Martinus Menulis Dunia Kecil yang Tidak Kecil

×

Martinus Menulis Dunia Kecil yang Tidak Kecil

Sebarkan artikel ini

Oleh Gunoto Saparie

 

Martinus Dwianto Setyawan menulis cerita anak seperti orang menanam pohon di halaman sekolah yang senyap. Tak banyak yang memperhatikan saat batangnya masih kecil, tetapi kelak, di musim yang tepat, anak-anak akan bermain di bawah naungannya.

Ia tidak menulis untuk kemegahan. Tidak untuk kurator pameran atau seminar sastra. Ia menulis untuk mereka yang belum bisa mengeja kalimat utuh, tapi sudah bisa merasakan keajaiban kata. Anak-anak, yang sering kita lupakan sebagai pembaca. Atau lebih tepatnya, sebagai manusia yang juga berhak atas dunia yang penuh imajinasi dan makna.

Saya membayangkan Martinus seperti lelaki yang sabar menggunting kertas warna, membentuk burung, gunung, atau matahari dari kata-kata sederhana. Ceritanya tidak menggurui. Tidak mengandung doktrin. Tetapi diam-diam membentuk dunia; dunia di mana seorang anak bisa bertanya, dan mendapat jawaban yang tidak merendahkan rasa ingin tahunya.

Ia menulis dalam sunyi, barangkali seperti para penyulam yang tak dikenal, tetapi membuat taplak meja yang menghangatkan jamuan. Cerita-cerita Martinus, meski tak diterbitkan dalam riuh cetak ulang, beredar dari ruang kelas ke ruang kelas, dari perpustakaan kecil di kabupaten ke pelajaran membaca di sekolah dasar. Kadang ia hadir sebagai nama kecil di sudut buku pelajaran, lebih sering tanpa nama sama sekali.

Tetapi bukankah begitu cara beberapa orang bekerja untuk sastra? Mereka membiarkan namanya hilang, asal pesannya sampai.

Yang kita sebut “cerita anak” hari ini seringkali kehilangan anaknya. Ia menjadi proyek orang dewasa. Penuh pesan moral yang kaku, penuh ketakutan orang tua, dan miskin keberanian anak-anak untuk bermain-main. Martinus berbeda. Ia memberi tempat bagi anak-anak untuk menjadi anak-anak. Menjadi makhluk yang boleh heran pada pelangi, berteman dengan kucing yang bisa bicara, dan percaya bahwa kebaikan tidak harus selalu berupa nasihat.

Saya ingat sebuah ceritanya, tentang anak yang ingin memeluk bulan. Ia tidak sampai ke bulan, tentu. Namun malam itu ia naik ke atap rumah, dan bulan datang lebih dekat. Cerita itu selesai tanpa pelajaran. Tetapi bukankah kita belajar bahwa kadang, yang paling penting adalah keberanian untuk mencoba, bukan hasilnya?

Martinus Dwianto Setyawan telah menulis dunia kecil yang tak kecil. Dunia yang tak dianggap serius, tapi justru di sanalah kita bisa melihat manusia tanpa topeng. Ia menulis saat banyak sastrawan sibuk dengan ironi dan metafora. Ia menulis untuk dunia yang bersih dari sinisme.

Kini, ia telah tiada. Tetapi cerita-ceritanya masih hidup di rak-rak buku perpustakaan sekolah yang berdebu, atau di memori para guru yang membacakannya dengan suara lembut. Atau di kepala anak-anak yang membayangkan langit bisa dijangkau dengan tangga kayu.

Martinus tidak mengejar abadi. Namun ia, dengan cerita-cerita kecilnya, telah menjadi bagian dari yang tidak mudah punah. Seperti lagu masa kecil. Atau bau buku pertama. Atau suara ibu yang membacakan dongeng sebelum tidur.

Martinus barangkali bukan nama yang dikenal luas oleh para pemuja selebritas sastra ibukota. Tetapi di Jawa Timur, terutama di sudut-sudut di mana dongeng masih dinyalakan dengan tangan telanjang dan kesetiaan yang hampir fanatik, nama itu disebut dengan nada hormat. Atau sayu.

Martinus bukan penulis yang ingin menaklukkan dunia. Ia lebih seperti biarawan sastra. Menyendiri di gua kecil bahasa. Setia pada kata. Ia hidup di antara buku-buku, manuskrip, dan kopi yang mendingin. Saya membayangkan ia seperti seorang tukang salin dalam abad yang sudah kehilangan salin-menyalin. Menulis bukan untuk dikutip, tetapi untuk direnungi.

Kita barangkali hidup di zaman yang menganggap kecepatan lebih penting dari keheningan. Tetapi Martinus adalah kebalikan dari itu. Cerita-ceritanya tidak berteriak. Ia mengendap. Kadang ia seperti seorang yang memungut sisa-sisa suara dari reruntuhan sejarah dan mengubahnya menjadi larik yang, meski pendek, mampu menahan waktu.

Saya ingin percaya bahwa Martinus adalah bagian dari tradisi sunyi sastra Indonesia. Tradisi yang tidak mencari lampu sorot, tetapi nyala kecil di pojok-pojok yang luput dari perhatian. Ia adalah bagian dari jenis penulis yang langka: mereka yang tahu bahwa menulis bukan untuk dikenal, tetapi untuk menyelamatkan sesuatu dari hilang.

Kini ia telah tiada. Tapi saya percaya, cerita-ceritanya masih berembus seperti angin yang pelan. Dan kita, yang masih bersedia duduk diam, mendengarkan, dan membaca dengan lambat, akan tetap mendengar suara itu. Seperti suara yang datang dari jauh. Dari hati yang pernah sangat percaya pada bahasa.

Mungkin kita tak pernah tahu pasti sejak kapan orang dewasa mulai menulis cerita untuk anak-anak. Tapi sejak Si Kancil mencuri mentimun, atau seekor kura-kura berlomba dengan kelinci yang sombong, orang dewasa selalu merasa perlu menceritakan dunia kepada mereka yang belum cukup umur. Dan anehnya: dunia itu, nyaris selalu, tak benar-benar seperti dunia anak-anak.

Cerita anak di Indonesia, seperti di banyak negeri lain, adalah dunia yang diciptakan oleh orang yang sudah melewati masa kecil. Ia ditulis dari ketinggian umur, dari tumpukan pengalaman yang terlalu sarat dengan logika, kadang terlalu berat oleh maksud. Maka tak heran, cerita anak kita kerap terasa seperti ruang tamu yang rapi, tempat anak-anak boleh masuk, tapi tidak boleh menyentuh apa pun.

Cerita anak kita sering tak bersuara. Atau kalaupun bersuara, nadanya seperti guru yang sedang menjelaskan larangan. Ini boleh, itu jangan. Ini baik, itu jahat. Anak-anak yang ingin naik pohon akan diperingatkan tentang bahaya jatuh. Mereka yang ingin menjelajah hutan akan segera dibekali pesan moral. Imajinasi dibingkai, bukan dibebaskan.

Orang dewasa memang punya niat baik. Tetapi seperti kata Nietzsche: “Neraka dipenuhi oleh niat baik.” Atau setidaknya, cerita anak kita dipenuhi pesan-pesan yang dipaksakan. Kita menyisipkan nilai-nilai luhur, tetapi lupa bahwa anak-anak tak belajar dari pesan, mereka belajar dari rasa. Kita ingin mereka menjadi “baik,” namuun lupa bahwa “baik” bukan satu-satunya warna dalam hidup.

Ada ironi di sini. Anak-anak adalah makhluk paling terbuka, paling jujur, paling siap menyerap dunia. Tetapi kita menjejali mereka dengan cerita yang steril. Kita takut mereka bertanya, takut mereka heran, takut mereka salah. Maka kita menulis cerita seperti pagar; bukan jendela.

Cerita anak kita belum selesai. Dan barangkali tak akan pernah selesai. Tetapi suatu hari nanti, semoga kita bisa berhenti menulis anak-anak seperti menulis rapor. Dan mulai menulis mereka seperti menulis puisi: tak selalu harus benar, namun selalu jujur.

Martinus Dwianto Setyawan telah pergi. Tetapi barangkali ia hanya pindah tempat. Dari dunia yang gaduh, ke tempat di mana kata-kata bisa lebih hening. Lebih abadi.

*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *