Oleh : Akaha Taufan Aminudin
Dalam dunia yang serba cepat dan sering kali individualis, merawat orang tua lanjut usia bukan hanya soal tanggung jawab, melainkan juga sebuah perenungan mendalam tentang kasih sayang, pengorbanan, dan penghormatan.
Melalui kisah Ibu Fatimah yang kini dirawat dengan penuh kasih di Griya Lansia Malang, kita diajak untuk menggali makna sebenarnya dari perawatan lansia—bukan sekadar fisik, tapi juga hati dan jiwa.
Di tengah derasnya arus kehidupan modern, cerita tentang Ibu Fatimah yang kini tinggal di Griya Lansia Malang menghadirkan sentuhan lembut yang mengajak kita untuk berhenti sejenak dan menengok kembali makna keberadaan keluarga.
Sering kali, stigma negatif seperti “ibu ditinggal anak-anaknya” melayang tanpa disertai pemahaman yang utuh. Namun, kisah ini menghadirkan perspektif baru: perawatan yang terarah, profesional, dan penuh cinta.
Griya Lansia, yang kini menjadi rumah kedua bagi Ibu Fatimah, adalah tempat di mana ia mendapat penanganan dari perawat ahli yang tidak hanya mengurus kebutuhan fisik, melainkan juga memberikan kehangatan dan perhatian yang kerap kali sulit didapat dalam kesibukan hari-hari anak-anaknya. Kita bisa menganggapnya sebagai “oase” di tengah gurun kesendirian lansia yang sering terlupakan.
Dalam filusuf terkenal, Martin Buber, hubungan “Aku-Kau” menegaskan pentingnya pengakuan akan keberadaan sesama manusia secara utuh. Perawatan lansia yang ideal bukan hanya memberikan asupan makan dan obat, tapi juga mengakui keberadaan mereka sebagai pribadi yang penuh cerita, pengalaman, dan harapan. Ibu Fatimah bukan hanya “lansia yang dirawat”; beliau adalah sosok yang tetap membutuhkan penghargaan dan cinta dari lingkungan sekitarnya.
Fenomena ini pun membuka ruang diskusi penting tentang tanggung jawab keluarga modern. Benarkah merawat di rumah adalah satu-satunya jalan untuk menunjukkan kasih? Atau perawatan profesional yang terintegrasi justru menjadi bentuk respect dan kasih sayang terbaik di tengah keterbatasan waktu dan kemampuan? Data dari World Health Organization menunjukkan bahwa perawatan lansia yang melibatkan tenaga medis profesional bisa meningkatkan kualitas hidup hingga 30%, mengurangi risiko depresi, dan memberikan rasa aman bagi keluarga yang terlibat.
Tentu, pilihan tidak selalu mudah. Ada beban moral, keraguan, dan terkadang rasa bersalah yang menyelimuti anak-anak saat memilih perawatan lansia. Namun, seperti kata pepatah lama, “Kasih ibu sepanjang masa” bukanlah sekadar fisik, melainkan juga kesiapan memberikan ruang terbaik bagi orang tua, meski itu berarti mempercayakan mereka pada para ahli.
Dengan kisah Ibu Fatimah, kita belajar untuk memandang perawatan lansia dari sudut yang lebih luas dan manusiawi. Mari hargai setiap usaha, entah itu dari anak-anak yang memberikan cinta lewat perhatian penuh atau para perawat yang melayani dengan sepenuh hati di Griya Lansia. Dan yang terpenting, mari jadikan tugas mulia ini sebagai perjalanan spiritual, tempat belajar ikhlas, sabar, dan menghargai setiap detik kebersamaan.
Jika kamu membaca sampai di sini, mungkin saatnya kita semua bertanya: bagaimana saya bisa menunjukkan kasih sayang kepada orang tua saya—bukan hanya dengan kata, tapi juga karya nyata? Karena, pada akhirnya, perawatan adalah bahasa cinta yang paling universal dan agung.
Ayo Bagikan!
Jika kisah Ibu Fatimah ini menyentuh hatimu, bagikan agar semakin banyak yang memahami keindahan dan tantangan merawat orang tua. Mungkin, lewat sharing ini, kita semua bisa memperbaiki cara pandang dan tindakan kita dalam memuliakan generasi yang membentuk kita. #PerawatanLansia #KasihIbu #GriyaLansiaMalang
Kota Batu Wisata Sastra Budaya
Sisir Gemilang 18 Juli 2025
Akaha Taufan Aminudin
Kreator Era AI KEAI JATIM
SATUPENA JAWA TIMUR