Denny JA Luncurkan Genre Baru: “Lukisan Imajinasi Nusantara”
Jakarta, 5 Juli 2025
Sebuah Perpaduan Batik, Realisme Tubuh, dan Latar Surealis di Era Handphone
Tokoh publik, konsultan politik, budayawan, dan pelukis Denny JA secara resmi meluncurkan genre seni rupa baru bertajuk Lukisan Imajinasi Nusantara.
Genre ini lahir dari perjalanan kontemplatif Denny JA ke museum-museum agung di Wina, Austria, pada musim gugur 2024.
Di tengah keheningan dinding Albertina, Belvedere, dan pantulan sejarah dalam lukisan Picasso, Van Gogh, hingga Salvador Dalí, Denny JA menemukan panggilan estetikanya sendiri.
Bukan dari Barat, tapi dari dalam diri Indonesia yang berkabut terang.
“Ini bukan turunan dari luar,” ungkap Denny JA, “genre ini lahir dari langit tropis, aroma tanah basah, dan batin Indonesia yang bergulat dalam era algoritma.”
Sebagai pelukis lebih dari 600 karya yang tersebar di delapan galeri hotel, Denny JA kini merumuskan Imajinasi Nusantara sebagai perpaduan khas antara identitas lokal dan renungan global.
Genre ini berdiri di atas tiga pilar utama:
1. Batik sebagai pusat narasi visual, bukan sekadar hiasan, tetapi jiwa dari lukisan.
2. Tubuh manusia dilukis secara realistis, sebagai wadah spiritualitas, bukan sekadar anatomi.
3. Latar surealis yang menggambarkan batin zaman yang retak.
Ini metafora tentang dunia yang terguncang oleh krisis, teknologi, dan kesendirian digital.
Hasil awalnya: 72 lukisan perdana yang kini dapat diakses bebas oleh publik melalui buku digital berjudul “Handphone, Kita Dekat Sekali.”
Karya-karya ini menyentuh tema besar: zaman gawai.
Gawai kecil itu bukan lagi alat bantu, melainkan medan spiritual baru. Ia mengguncang keintiman, memutus komunitas, dan membengkokkan ruang-waktu.
Beberapa lukisan menggambarkan:
• Seorang ayah yang pulang ke rumah, tapi jiwanya tertinggal di notifikasi.
• Makan malam keluarga yang sunyi, hanya diterangi cahaya layar.
• Guru berdiri di depan papan tulis, tapi murid sibuk menatap HP.
• Makam tanpa doa, hanya QR Code dan koneksi Wi-Fi.
Genre ini tak hanya berdiam dalam ruang personal, tapi juga menyentuh luka-luka kolektif: pandemi global, krisis ekonomi 1998, Gempa Tsunami Aceh 2004, hingga perang yang mengaburkan perbatasan.
Imajinasi Nusantara juga menghadirkan tokoh ikonik seperti Einstein, Lady Di, dan Marilyn Monroe—semuanya berbalut batik parang, mega mendung, hingga motif gringsing khas Bali.
Seolah mereka berkata: kini kami milik imajinasi tropis.
“Setiap sapuan warna adalah pelukan spiritual kepada dunia,” tambah Denny JA.
“Ia lahir dari tradisi, tapi hidup di antara cahaya piksel. Ia tangisan lembut sekaligus perlawanan estetika.”
Karya-karya ini bukan hanya dilukis, tetapi diciptakan bersama teknologi kecerdasan buatan (AI)—menjadikannya genre pertama di Indonesia yang menyatukan warisan leluhur dengan algoritma digital.
Di sinilah terletak kekuatan simbiosis antara seni, teknologi, dan tradisi.
Sebagai pencipta puisi esai yang kini menjadi gerakan sastra Asia Tenggara, Denny JA melangkah lagi: dari puisi ke kanvas, dari kata ke warna.
Imajinasi Nusantara menjadi jembatan baru.
Sejumlah pengamat seni rupa telah mulai menaruh perhatian. Kritikus dari komunitas seni Jakarta menilai genre ini sebagai “eksperimen yang berani dalam memperluas batik sebagai ekspresi kontemporer.”
Sebagian lain melihatnya sebagai terobosan untuk mengangkat narasi lokal dalam kerangka global dan teknologi.
Satu hal yang pasti: genre ini membuka ruang baru. Ia mengajak kita bertanya, bukan hanya apa makna seni?, tetapi bagaimana cara Nusantara menyatakan dirinya di tengah dunia yang tercerai oleh layar sentuh?
(Penerbit CBI)
Link unduh gratis buku dan lukisan lengkap:
📖 https://drive.google.com/file/d/1dtYrlczlw4OYlYbFBgU4ISPhz7pgxEJu/view?usp=sharing