Oleh: Rizal Tanjung
Pernahkah kau dengar,
suara bende yang mengajak matahari pulang dari timur?
Itu dulu, waktu nenekmu masih tahu cara membaca aksara Lampung,
dan kakekmu belum sibuk ikut lomba memancing di kolam dinas kebudayaan.
Kini, yang kita miliki hanyalah fotokopi kenangan.
Rumah adat jadi hiasan lobi kantor,
Siger jadi ikon festival selfie,
dan buku budaya lokal bisa dihitung dengan jari —
terutama jari kepala dinas yang baru sadar:
“Penulis Lampung itu langka ya,
mungkin lebih langka dari itik gunung atau proposal yang benar-benar jujur.”
Di Negeri Ini, Penulis Adalah Hantu
Keluhan Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Lampung
hanyalah gema dari toa yang dipasang terbalik.
Katanya, buku tentang budaya lokal minim.
Penulisnya bisa dihitung jari —
lalu kenapa tak disediakan sarung tangan insentif?
Jacob Ereste menulis:
“Penulis Lampung ada, bahkan sejak 1980-an,
tapi siapa yang sudi memberi mereka pena?”
Mereka menulis dari kampung,
sementara dinas hanya menyusun program di excel,
memoles data dengan glitter anggaran,
dan menganggap sastra adalah seminar satu hari
yang ditutup dengan nasi kotak dan plakat akrilik.
Rumah Adat dan Kantor Dinas: Arsitektur Tanpa Ingatan
Dulu, rumah adat adalah tempat berdiskusi tentang hidup dan harga lada.
Kini, rumah adat menjadi tempat lomba karaoke PKK
dan backdrop konten TikTok sekretaris camat.
Pohon-pohon sejarah ditebang,
lalu dicetak di atas kertas brosur festival.
Lamban yang dulu sakral, kini disulap jadi ruang pendingin pikiran birokrat.
Adat tinggal adat istiadat dalam pidato sambutan.
Kesenian Tradisional: Ditemukan di PowerPoint, Bukan di Kampung
Cangget, Ngedeo, Mulei Mekhanai,
Gamolan Pekhing, Tari Bedana, Wayak, dan Pantun Adat
– semua kini berstatus: almarhum tanpa pemakaman.
Cangget ditarikan oleh penari dari luar daerah di acara mall.
Ngedeo diganti swiping aplikasi kencan.
Gamolan kalah bunyi dari remix TikTok.
Tari Bedana disambut pejabat yang bahkan mengira itu tarian dari Bali.
Dan pantun? Lebih banyak muncul di feed Instagram daripada lisan nenek.
Ironi ini makin menusuk saat aksara Lampung
hanya hidup di logo instansi dan motif batik,
sementara murid SD hanya kenal huruf Latin dan slogan pemilu.
Aksara itu kini seperti mantra yang tak dimengerti oleh sang dukun.
Pemerintah dan Budaya: Seperti Tikus Menjaga Padi
Setiap tahun, APBD Lampung mencantumkan pelestarian budaya
– tapi lebih banyak melestarikan kuitansi.
Festival budaya dilaksanakan bukan untuk budaya,
melainkan untuk selfie di depan panggung dan ganti foto profil WhatsApp.
Rumah baca? Tidak ada.
Pelatihan penulisan berkelanjutan? Tidak ada.
Tapi proposal kegiatan pelestarian budaya?
Penuh.
Lengkap dengan TOR, RAB, dan testimoni palsu dari akun buzzer lokal.
Penerbitan buku budaya?
Mungkin lebih mudah mencari UFO di Way Kambas
daripada mencari buku beraksara Lampung di perpustakaan daerah.
Yang ada hanya laporan kegiatan,
yang dibukukan dengan layout mewah dan isinya hasil copas Wikipedia.
Warisan Tak Berwasiat, Penjaga Tanpa Jiwa
Wahai pemerintah daerah,
jika kalian mencintai budaya,
jangan hanya memeluknya saat ada dana dari pusat.
Budaya bukan proposal hibah,
bukan item dalam LPJ kegiatan,
bukan pajangan dalam kunjungan menteri.
Budaya adalah nyawa.
Dan nyawa tidak bisa dicetak di banner spanduk.
Budaya adalah ingatan.
Dan ingatan tidak bisa disewa dari EO Jakarta.
Lampung pernah kaya.
Bukan cuma karena lada dan kopi,
tapi karena petuah tua dan nyanyian panen.
Kini, kita miskin – bukan karena ekonomi,
tapi karena budaya hanya jadi acara musiman.
Seruan dari Puing-Puing
Wahai rakyat Lampung,
bangkitlah sebelum kita semua menjadi penjaga pusara sejarah.
Ajarkan pantun sebelum suara nenekmu jadi notifikasi terakhir.
Mainkan gamolan sebelum alat itu jadi barang lelang.
Bacalah aksara Lampung sebelum kita semua
menjadi tamu di tanah sendiri.
Dan wahai Dinas yang katanya mengurus arsip dan budaya,
jangan cuma mengarsipkan proposal dan brosur kegiatan.
Arsipkan kisah.
Arsipkan ingatan.
Arsipkan suara gamolan dan nyanyian adat.
Karena jika tidak,
kita semua akan hidup dalam negeri yang cuma mengenang,
tapi tak pernah merawat kenangan.
Negeri Tanpa Peradaban, Tapi Penuh Festival
Lampung hari ini bukan kekurangan seniman,
melainkan kekurangan pemimpin yang tahu bedanya antara acara dan makna.
Kita tidak kekurangan puisi,
hanya kekurangan pembaca yang tahu bahwa puisi bukan sekadar kata indah,
tapi luka yang dicatat dengan tinta darah.
Maka jika suatu hari nanti,
ada yang bertanya,
di mana letak budaya Lampung?
Jawablah:
Ada di dalam proposal—yang dikubur di antara printer dan meja rapat.
Ada di foto Instagram—yang disaring dengan filter nostalgia.
Ada di hati rakyat—yang kian hari kian mati rasa.
Dan di situ pula, kita semua tinggal.
Dalam rumah besar bernama:
Republik Budaya Mati.
Sumatera Barat,2025